‎Negara dalam Cengkraman: Investigasi Mendalam atas Krisis Multidimensi di Indonesia

Avatar photo

Porosmedia.com – ‎Indonesia, negeri demokrasi ketiga terbesar di dunia, tengah berada di ambang krisis multidimensi yang semakin membusuk dari dalam. Dari ruang legislatif yang kian dikuasai oligarki, aparat hukum yang bisa disewa kekuasaan, hingga kampus-kampus yang dijadikan ladang investasi politik—semua menjadi potret kelam peradaban bangsa yang terancam runtuh tanpa guncangan dari luar.

“Negara tak runtuh karena peluru musuh, melainkan karena pengkhianatan dari elite yang menggadaikan idealisme kepada kekuasaan.”
‎— Irwan Fikri, aktivis demokrasi dan pengacara publik.

‎1. Oligarki dan Kemunduran Demokrasi.

Kekuasaan Terpusat pada Segelintir Elit.

Pemilu telah berubah menjadi pasar politik. Partai-partai menjelma korporasi; siapa yang membayar, dialah yang berkuasa. Proses legislasi tak lagi menjadi ruang artikulasi rakyat, melainkan arena transaksi.

Omnibus Law Cipta Kerja, misalnya, disahkan secara kilat di tengah malam, menyingkirkan suara rakyat dan buruh. Kajian ICW (2023) menemukan bahwa lebih dari 60% isi pasal menguntungkan korporasi tambang, sawit, dan properti. Bahkan dalam penyusunannya, lebih banyak pengusaha yang diundang ke DPR dibanding akademisi.

‎”Demokrasi kita dikudeta secara prosedural. Kita diberi ilusi partisipasi padahal keputusan sudah disepakati di ruang tertutup kekuasaan.”
‎— Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara UGM.

‎2. Skandal Korupsi dan Kolusi Terstruktur

‎Ketika Negara Jadi Ladang Rampokan

‎Korupsi di Indonesia bukan lagi soal individu rakus. Ini sistemik. Seorang pejabat muda di lingkungan provinsi Jawa Barat, yang mewanti-wanti agar namanya disamarkan, menyebutkan bahwa hampir setiap bankeu harus melalui “koordinasi khusus”—istilah halus dari permintaan setoran kepada elite tertentu.

‎Kasus korupsi BTS Kominfo adalah gambaran paling telanjang: proyek digitalisasi desa senilai triliunan justru dinikmati oleh segelintir elit politik dan pengusaha teknologi. Ironis, karena warga di desa-desa masih menumpang sinyal dari menara tetangga.

‎”Di daerah, proyek bukan dibagi berdasarkan kebutuhan, tapi berdasarkan ‘jatah’. Tanpa backing politik atau aparat, kamu tak dapat apa-apa.”
‎— Anonim, kontraktor independen di Sumatera Selatan.

‎3. Premanisme Politik dan Represi Sipil

‎Menggugat Negara yang Tak Netral

‎Di banyak tempat, kekuasaan disandera oleh ormas dan premanisme politik. Mereka bukan hanya melindungi bisnis-bisnis ilegal, tapi juga dipakai sebagai “pasukan reaksi cepat” untuk membungkam kritik.

‎Di Bandung, seorang aktivis antikorupsi didatangi sekelompok orang tak dikenal setelah menyampaikan kritik terbuka terhadap pengadaan barang di Pemkot. Di Solo, wartawan investigasi dipukul dan diancam setelah meliput konsesi tambang milik anak pejabat.

‎Polisi tak hadir sebagai pelindung rakyat, melainkan penengah yang bias.

‎”Negara ini sedang berubah. Preman bisa jadi wakil rakyat, asal punya modal dan jaringan. Sementara rakyat yang kritis dianggap musuh negara.”
‎— Rina Listyarini, Direktur LBH Keadilan Rakyat.

‎4. Mafia Proyek dan Pendidikan yang Digadaikan

‎Kampus Jadi Lahan Bisnis Baru

‎Pendidikan tinggi tak lepas dari krisis. Di banyak universitas negeri, posisi rektor atau dekan bisa ditentukan oleh afiliasi politik dan kekuatan finansial. Proposal riset dikomersialisasi, dan dosen yang vokal perlahan “dijinakkan” atau dipindahkan ke posisi tak strategis.

‎Seorang dosen di perguruan tinggi ternama di Yogyakarta menyebut adanya “paket proyek” dari kementerian yang harus diamankan oleh rektorat. Isinya lebih mirip proposal politik ketimbang riset ilmiah.

‎Kasus plagiarisme massal di berbagai kampus pun ditutup dengan damai internal—selama pelakunya orang kuat atau punya jaringan ke kementerian.

‎5. Statistik Bohong dan Ketimpangan yang Disembunyikan

‎Miskin Secara Fakta, Makmur dalam Data

‎BPS menyebut angka kemiskinan turun, pengangguran menurun, dan pertumbuhan ekonomi stabil. Namun realitas di lapangan berteriak sebaliknya. Di Kabupaten Garut, Porosmedia menemukan desa tanpa air bersih sejak tahun 2021. Di pinggiran Jakarta, pekerja buruh harus kerja lembur 14 jam demi bertahan hidup dengan gaji UMR yang tak cukup bayar kontrakan.

‎Sumber internal di Bappenas menyebutkan adanya tekanan politik untuk “memoles angka”, terutama menjelang tahun politik.

‎”Angka-angka itu sekadar narasi kosmetik. Kemiskinan disembunyikan di balik formula statistik yang tak menyentuh realita.”
‎— Dwi Hartanto, ekonom independen.

‎6. Simpulan: Jalan Panjang Perlawanan Sipil

‎Membangun Kesadaran, Menolak Normalisasi Kebusukan

‎Kita sedang hidup dalam negara yang secara formal merdeka, tapi secara struktural dikuasai segelintir orang. Demokrasi telah direduksi menjadi prosesi lima tahunan, hukum menjadi alat kekuasaan, dan rakyat hanya objek dari politik transaksional.

‎Namun, harapan belum mati. Di kampus, desa, komunitas, dan kelompok sipil, benih perlawanan mulai tumbuh. Kesadaran baru mulai menguat—bahwa kebusukan ini tak bisa dilawan dengan diam.

‎”Tak ada perubahan tanpa perlawanan. Dan tak ada perlawanan tanpa keberanian membuka luka. Porosmedia akan terus membuka luka-luka itu agar tak jadi borok sejarah.”