Porosmedia.com, Jakarta – Lebih dari 200 warga Indonesia hari ini menyampaikan maklumat terhadap situasi politik dan kepemimpinan nasional.
Pernyataan itu dibacakan di
Jalan Juanda, Jakarta, 16/10. Mereka menyoroti perilaku elite politik dalam
proses pemilihan presiden dan pemilihan umum 2024 yang mengabaikan kepatutan politik.
Pada hari ini juga berlangsung pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian usia capres-cawapres UU Pemilihan Umum.
“Kami mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi, tapi kehadiran kita hari ini juga menyoroti deretan masalah yang merugikan demokrasi dan kehidupan kita sebagai bangsa,“ kata salah seorang inisiator Maklumat, Erry Riyana
Hardjapamekas, mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi 2003-2007. Beberapa persoalan yang disebut Erry Riyana itu diantaranya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, benturan kepentingan pejabat kabinet, hingga UU Cipta Kerja.
Juru Bicara Maklumat, Usman Hamid, menambahkan banyak kebijakan
pemerintah dibuat tanpa menyerap sungguh-sungguh aspirasi rakyat. “Orientasi kebijakan menguntungkan oligarki daripada rakyat yang sebagian masih menghadapi kemiskinan dan tersingkir oleh kebijakan ekonomi.
Sementara penyelesaian pelanggaran HAM berat berhenti di ranah non-yudisial, instan, dan terhalang oleh kompromi politik jangka pendek,” kata Usman.
Menurut Prof. Sulistyowati Irianto hukum nyata-nyata digunakan sebagai alat untuk mendefinisikan kekuasaan. “Mereka mengabaikan mayoritas dengan tujuan melanggenggkan kepentingan-kepentingannya melalui penumpukan kekuasaan,
privilese, dan akhirnya penguasaan akses kepada sumber daya,” kata Guru
Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia.
Para penyampai Maklumat menggarisbawahi pula soal praktik politik dinasti yang diteruskan oleh Presiden. “Presiden pun terus bermanuver untuk menentukan
proses Pemilu 2024 dengan menggandeng kubu politik yang menjamin masa depan sendiri dan dinasti keluarga.Rasa keadilan diinjak-injak. Masa depan bangsa dijadikan permainan kotor” demikian tertulis dalam pernyataan yang disebut Maklumat Juanda 2023.
Penanda-tangan Maklumat Juanda berasal dari pelbagai latar belakang: guru besar, dosen, agamawan, budayawan, mantan duta besar, mantan komisioner pemberantasan korupsi, atlet nasional, pengacara, wartawan; tokoh-tokoh pendidikan, hak azasi manusia, lingkungan hidup; produser, seniman dan pegiat literasi, sastra, teater, seni rupa dan film; tokoh-tokoh relawan Jokowi.
Nama-nama yang tercantum dalam penyampai Maklumat di antaranya,
Goenawan Mohamad, Erry Riyana Hardjapamekas, Karlina Supelli, Butet
Kartaredjasa, Allisa Wahid, Prof (Emeritus) Mayling Oey-Gardiner, Prof
<span;>Sulistyowati Irianto, Prof Riris K. Toha Sarumpaet, Prof Daldiyono Hardjodisastro, Prof Manneke Budiman, Yanuar Nugroho, Henny Supolo, Natalia Soebagjo, Oma Komaria Madjid, Rosiana Tendean, Betti Alisjahbana, Faisal Basri, Saiful Mujani, Todung Mulya Lubis, Ikrar Nusa Bhakti, Usman Hamid, F. Budi Hardiman, Ulil Abshar Abdalla, Joko Anwar, Laksmi Pamuntjak, Tosca Santoso, Ayu Utami, Sandra Hamid, Zumrotin K. Susilo, S. Indro Tjahjono, Helmy Fauzi, Ifdhal Kasim, Pdt Saut Sirait, St Sunardi, dan Warih Wisatsana.
Naskah Maklumat yang patut disebut Maklumat Juanda 2023, karena dibacakan di Jalan Juanda, Jakarta itu sebagai berikut:
Maklumat Juanda 2023:
Reformasi Kembali ke Titik Nol
Reformasi kembali ke titik nol. Mundurnya Reformasi ditandai dengan
merosotnya demokrasi dan diperburuk oleh fenomena politik dinasti. Reformasi
dan Demokrasi yang kita tegakkan bersama dalam 25 tahun terakhir, dikhianati.
Kedaulatan rakyat disingkirkan. Ruang publik dipersempit, oposisi menjelma
aliansi kolusif, lembaga anti-korupsi dilemahkan, dan kekuatan eksekutif
ditebalkan. Yang menentukan nasib kita: kekuasaan pemimpin nasional dan para
majikan partai.
Penguasa menyalahgunakan demokrasi melalui peraturan perundang-undangan,
mulai dari Revisi UU KPK, KUHP, hingga UU Cipta Kerja. Konflik kepentingan
pejabat kabinet sangat kuat.
Prosedur demokrasi disalahgunakan untuk memfasilitasi oligarki yang lama mengakar di era rezim Soeharto. Penyelesaian pelanggaran HAM berat berhenti di ranah non-yudisial, instan, dan terhalang oleh kompromi politik jangka pendek. Politik dinasti terasa kental ketika Presiden menyalahgunakan kekuasaan yang sedang dipegangnya untuk mengistimewakan keluarga sendiri.
Anak-anaknya yang minim pengalaman dan prestasi politik menikmati jabatan publik maupun fasilitas bisnis yang tak mungkin didapat tanpa status anak Kepala Negara/Presiden yang berkuasa.
Presiden pun terus bermanuver untuk menentukan proses Pemilu 2024 dengan
menggandeng kubu politik yang menjamin masa depan sendiri dan dinasti keluarga.
Rasa keadilan diinjak-injak. Masa depan bangsa dijadikan permainan kotor.
Kami memergoki perilaku politik yang nista dari penguasa dan kalangan atas ini. Ukuran moral, tentang yang adil dan tidak adil, yang patut dan tidak patut telah hilang.
Perilaku yang nista itu adalah kolusi dan nepotisme yang dirobohkan oleh gerakan reformasi, seperempat abad lalu.
Itu sebabnya di sini kami, sejumlah warga negara dari pelbagai kalangan,
bersuara. Indonesia memerlukan politik yang diabdikan untuk kedaulatan rakyat.
Kami mendesak para pemimpin bangsa, terutama Kepala Negara, Presiden
Jokowi, agar memberi teladan, dan bukan memberi contoh buruk
memperpanjang kebiasaan membangun kekuasaan bagi keluarga.
Dibacakan di Jalan Juanda, Jakarta
<span;>Hari ini, Senin, 15 Oktober 2023