Lonjakan Pengungsi Rohingya Bukti Lemahnya Sistem Pertahanan dan Keamanan Laut Indonesia 

Avatar photo

Porosmedia.com – Gelombang kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia masih terus berlangsung. Untuk ke-sekian kalinya, konflik dengan warga lokal pun tak terhindarkan.

Terbaru, sekelompok mahasiswa mengusir paksa pengungsi Rohingya yang didominasi wanita dan anak-anak dari tempat penampungan sementara di Gedung Balee Meuseuraya Aceh.

Keberingasan para mahasiswa yang datang sambil berteriak dan bahkan melempar suatu benda membuat pengungsi Rohingya menangis ketakutan. Peristiwa ini kemudian menjadi sorotan dunia internasional.

Terlepas dari konflik dan dilema kemanusiaan, kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia diduga kuat berkaitan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Artinya, mereka diselundupkan ke Indonesia oleh oknum pelaku TPPO.

Bertambahnya gelombang pengungsi Rohingya merupakan sebuah indikasi lemahnya sistem pertahanan dan keamanan laut Indonesia. Terbukti, oknum pelaku TPPO pengungsi Rohingya dapat dengan mudah memasuki perairan nusantara tanpa terdeteksi oleh petugas. Kedatangan mereka baru disadari ketika sudah merapat ke bibir pantai.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Kelautan, melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia merupakan tugas dari Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Baca juga:  Komunitas Jabar & Indonesia Unggul Usulkan 10 Nopember 2024 Pemberian Gelar Pahlawan Nasional bagi Mochtar Kusumaatmadja 

Bakamla melaksanakan fungsi penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum, menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli perairan oleh instansi terkait, memberikan dukungan teknis dan operasional serta melaksanakan tugas lain dalam sistem pertahanan nasional.

Oleh karena itu, untuk mencegah ledakan jumlah pengungsi Rohingya dan mengantisipasi TPPO melalui perairan Indonesia serta akibat yang mungkin ditimbulkannya seperti konflik dengan warga lokal, pelaksanaan tugas dan fungsi-fungsi di atas harus diperkuat dan diperketat. Baik oleh Bakamla, TNI AL maupun Polair dari Polri.

Pasalnya, jika pengungsi Rohingya terlanjur mendarat, maka mengembalikan mereka adalah pelanggaran terhadap prinsip non-refoulement Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi.

Sedangkan untuk para pengungsi Rohingya yang terlanjur mendarat di Aceh sejak pertengahan November 2023 jumlahnya diperkirakan sekira 1,7 ribu orang. Sampai saat ini, mereka masih tinggal di beberapa tempat penampungan sementara.

Indonesia sebenarnya punya pengalaman dalam mengelola pengungsi yaitu ketika pengungsi Vietnam dan Kamboja datang pada tahun 1979-1996. Bahkan jumlah mereka jauh lebih besar dari jumlah pengungsi Rohingya yang kini ada di Aceh. Ketika itu, sebanyak 250 ribu pengungsi Vietnam dan 5 ribu pengungsi Kamboja tinggal di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau.

Baca juga:  Spesifikasi dan Harga Xiaomi Redmi Note 10s Terbaru 2022

Pemerintah Indonesia sempat melempar wacana menempatkan pengungsi Rohingya di Pulau Galang. Akan tetapi, wacana tersebut mendapatkan penolakan keras dari warga lokal yang mendiami Pulau Galang.

Dengan pengalaman mengelola pengungsi di masa lalu dalam jumlah yang jauh lebih besar dan didukung oleh adanya 17 ribu pulau, menyediakan tempat bagi pengungsi Rohingya yang jumlahnya 1,7 ribu orang, bukanlah hal yang sulit.

Penting untuk diketahui bahwa pemenuhan kebutuhan pengungsi Rohingya tidak menggunakan APBN dan APBD. Setiap biaya akan ditanggung oleh UNHCR dan mitranya. Pemerintah Indonesia hanya memfasilitasi atau memberikan perlindungan di lokasi pengungsian.

Jakarta, 29 Desember 2023
R. Haidar Alwi
Pegiat Filantropi & Toleransi