Porosmedia.com, Jakarta, 21 Mei 2025 –
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengungkap kondisi darurat dalam penanganan penyakit jantung bawaan (PJB) anak di Indonesia sepanjang tahun 2024. Dalam siaran resmi yang disampaikan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK) Kardiologi IDAI, organisasi profesi ini menyoroti ketimpangan distribusi layanan, minimnya sumber daya manusia, dan keterbatasan infrastruktur medis yang menghambat penyelamatan ribuan nyawa anak setiap tahunnya.
Ketua Umum IDAI, DR Dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K), Subsp. Kardio, menegaskan bahwa penyakit jantung bawaan kini menjadi masalah serius kesehatan anak nasional. “Sebagai mitra strategis pemerintah, IDAI telah melakukan pelatihan skrining PJB secara luas di berbagai daerah. Namun sistem layanan kesehatan kita belum cukup kuat. Kesenjangan fasilitas dan distribusi dokter masih terlalu lebar,” ujarnya.
Data IDAI mencatat sebanyak 50.000 bayi lahir dengan PJB setiap tahun, dan 12.000 di antaranya berada dalam kategori kritis. Ironisnya, kapasitas layanan intervensi—baik bedah maupun non-bedah—hanya mampu menangani sekitar 7.500 kasus per tahun. Rinciannya, intervensi bedah (SI) sebanyak 3.140 kasus dan non-bedah (NSI) 4.363 kasus. Itu berarti lebih dari 40.000 bayi dengan PJB setiap tahunnya berisiko tidak mendapatkan penanganan tepat waktu.
Distribusi dokter spesialis juga menjadi persoalan pelik. Dari total 105 dokter jantung anak aktif di Indonesia (70 SpA(K) Subspesialis Kardio dan 35 SPJP(K)), seluruhnya tersebar hanya di 18 dari 38 provinsi. Jumlah ini jauh dari memadai, apalagi jika dibandingkan dengan rasio kebutuhan populasi dan kasus. Penambahan dokter baru pun sangat lambat: hanya 4–6 orang per tahun.
Beberapa provinsi tercatat belum memiliki fasilitas bedah jantung anak. Bahkan rumah sakit rujukan pun tak jarang tak memiliki unit penting seperti PCICU (Pediatric Cardiac Intensive Care Unit), cath-lab, atau akses terhadap obat-obatan esensial seperti prostaglandin IV. Ini bukan hanya soal layanan, tetapi soal peluang hidup anak-anak yang tergantung pada detik dan alat.
Ketua UKK Kardiologi IDAI, Dr. Rizky Ardiansyah, M.Ked, SpA(K), Subspesialis Kardio, menekankan bahwa IDAI telah menggulirkan program seperti INPOST (skrining PJB di FKTP) dan PNET (pelatihan ekokardiografi dasar), serta sistem Flying Doctor dan Proctorship untuk memperluas akses keahlian ke daerah. “Upaya ini sejalan dengan agenda Asta Cita dalam memperkuat SDM dan sistem kesehatan nasional,” ujarnya.
Solusi Konkret: Pengampuan, Fellowship, dan Dokter Terbang
IDAI mengusulkan pendekatan sistemik dalam bentuk:
Program pengampuan layanan PJB oleh rumah sakit utama ke rumah sakit daerah.
Fellowship pendidikan subspesialis kardiologi di dalam dan luar negeri.
Ekspansi program Dokter Terbang untuk intervensi di lokasi dengan sumber daya terbatas.
Penyediaan sarana dan obat penting secara merata di seluruh rumah sakit rujukan.
“Pemerintah harus menyadari bahwa penyakit jantung bawaan bukan penyakit langka, tetapi epidemi struktural yang terjadi secara berulang setiap tahun tanpa respons yang memadai,” tegas Piprim.
IDAI menyerukan kepada seluruh pihak—pemerintah pusat dan daerah, rumah sakit, organisasi profesi, dan masyarakat sipil—untuk bersinergi membangun sistem layanan jantung anak yang adil, merata, dan berkualitas. Skrining dini dan akses intervensi yang cepat adalah kunci keselamatan nyawa anak-anak Indonesia.
“Setiap anak berhak atas hidup yang sehat. Jangan biarkan ribuan anak terlahir untuk menghadapi kematian karena sistem yang lamban dan tidak adil,” tutup Dr. Rizky.