Porosmedia.com — Sudah banyak para pengamat yang membicarakan tentang kemunculan keturunan Dinasti Handoyoningrat sebagai penguasa New Nusantara.
Boleh percaya boleh tidak….!!!
Raja jawa itu titik simpul feodalisme di negeri kita. Justru dari di situlah pintu portal penjajahan asing Belanda dan Inggris dengan mudah menjajah negeri kita.
Jadi, feodalisme harus dibedakan dengan kearifan lokal daerah yang merupakan budayanya rakyat jawa.
Kedua,
Karena konteks raja jawa dalam pengertian ini adalah raja raja mataraman sejak Danang Sutawijaya, Sultan Agung hingga era Amangkurat, untuk selanjutnya terbelahnya kraton Solo dan Yogya, maka di bawah permukaan masih ada sesuatu yang laten antara jawa pedalaman yang secara politis dan budaya dikuasai raja dan para pangeran kraton, dan jawa pesisiran yang kuat budaya rakyatnya yang bersimpulkan ulama.
Makanya, sosok pejuang Pangeran Diponegoro berani melawan Belanda dalam Perang Jawa 1825-1830 karena sejak bayi merah dibawa nenek buyutnya, Ratu Ageng, yang putri ulama Madura, untuk dibesarkan di Tegal Rejo yang dominan budaya pesisiran dan kuatnya pengaruh ulama pada Diponegoro alih alih kaum bangsawan.
Sah-sah saja buat yang bangga sama raja Jawa. Atau bahkan ada yang merasa tersinggung marah dan benci….!!!
Dahulu, Pangeran Handoyoningrat alias Pengging Sepuh, yang berputrakan, Ki Ageng Kenongo, yang kemudian berputrakan mas Karebet Joko Tingkir, yang kelak jadi Sultan Hadiwijaya di Pajang, memang raja jawa.
Tapi raja jawa yang keluar pakem.
Rakyat yang masuk kraton.
)Konon Dinasti Handoyoningrat-lah nantinya yang sedang digadang-gadang oleh sebagian elit negeri ini sebagai Trah Penerus Nusantara….!!!)
Mas Karebet dan ayahandanya, Ki Ageng Kebo Kenongo, lahir saat Pangeran Handoyoningrat yang menantu Brawijaya V sudah tidak di linglar istana lagi dan jadi rakyat biasa.
Lantaran saat itu Demak sudah muncul jadi kerajaan Islam kuat di Demak, menggeser kerajaan Majapahit.
Saat Handoyoningrat berpindah ke Jawa Tengah inilah, Ki Ageng Kenongo dan juga Ki Ageng Tingkir, sama sama berguru pada Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Syech Siti Jenar, yang sangat kuat pengaruh Islam Persia alih allih Islam Timur Tengah.
Islam Persia lebih mengutamakan kesalehan batin meski tetap bertumpu pada kesalehan syariat. Adapun Islam Timur Tengah yang diprakrsai para wali 9 kecuali Sunan Kalijaga, Sunan Giri dan Syech Siti Jenar, sepenuhnya hanya menegaskan kesalehan syariat.
Nah menariknya, hikmah dari hijrahnya Pangeran Handoyonigrat dari Jawa Timur ke Jawa Tengah, anak cucunya yang berguru pada Ki Ageng Tingkir yang muridnya Kalijaga dan Syech Siti Jenar, pada perkembangannya membentuk mas karebet jadi raja jawa yang menyatukan dua aliran sungai tadi.
Titik temu kesalehan syariat dan kesalehan batin sebagai fondasi berdirinya kerajaan Pajang ketika mas Karebet bertahta sebagai Sultan Hadiwijaya.
Kultur ini berlangsung terus hingga Sultan Agung Hanyokrokusumo Ing Mataram. Namun sinergi ini retak lagi kala Amangkurat I membunuh 600 ulama. Sejak itu, mataraman Jawa yang berpusat di Kartasura, kerap mengalami bala bencana.
Salah satunya, Grebeg Pecinan 1740 yang sebenarnya berlangsung di Batavia, ketika Belanda meng-genosida orang orang tionghoa, pada lari ke jawa.
Nah hal ini memicu persaingan internal antar para pangeran. Sehingga memicu perang saudara antara para pangeran pro Belanda vs Pangeran Garendi yang pro tionghoa.
Ketika yang pro Tionghoa tumpas antar pangeran yang pro belanda inipun pecah kongsi. Terus perang lagi….!!!
Pangeran Mangkubumi yang kali ini melawan sultan pakubuwono yang didukung belanda, kemudian mendapat dukungan dari daerah daerah jawa pesisir yang sebelumnya merapat dalam pasukannya Pangeran Garendi.
Pada akhirnya terjadi kompromi yang dimediasi Belanda. Mataram dibagi dua. Saudara tua dapat Solo.
Saudara muda dapat Yogya. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan Yogya bergelar Hamengkubuwono I.
Adapun saudara tua di Solo bergelar Pakubuwono.
Jadi raja Jawa mulai nyempal dari pakem nya mas Karebet Sultan Hadiwijoyo itu sejak bertahtanya Amangkurat I, putra Sultan Agung.
Jadi untuk merevitalisasi Mataraman harus kembali ke Khittah kerajaan Pajang. Yang sepertinya terputus sejak Amangkurat.
Ada saat ketika Hamengkubuwono I mengawini nenek buyut Pangeran Diponegoro yang putri ulama Madura, akulturasi kesalehan batin dan syariat terkoneksi kembali hingga Hamengkubuwono III, ayahanda Diponegoro.
Namun setelah Hamengkubuwono II dan III wafat, dan Diponegoro diasingkan, maka terputuslah mata rantai ke HB I dari jalur Ratu Ageng yang berputrakan HB II dan bercucukan HB III.
Setelah itu, pada era pasca wafatnya HB II hingga tampilnya HB IX pada 1940, kerajaan Jawa hanya sekadar gaya hidup. Yang identik dengan kemewahan, sok kuasa, asyik dengan dunianya sendiri, cuek bebek dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Prestise lebih utama daripada prestasi. Bukannya derajat jadi materi.
Tapi memakai materi untuk membeli derajat.
By: Roim