Porosmedia.com – Vonis 4,5 tahun penjara terhadap mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi, kembali menegaskan satu hal yang sudah lama menjadi problem struktural di tubuh BUMN: bahwa pejabat di permukaan sering kali dijadikan wajah dari kesalahan kolektif yang akarnya justru tersebar dalam jejaring kebijakan, tata kelola, dan ekosistem birokrasi yang tidak transparan.
Kasus kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara—yang oleh KPK ditaksir menimbulkan kerugian negara hingga Rp893 miliar–Rp1,25 triliun—memang harus dibuka seterang-terangnya. Namun, dari rangkaian fakta persidangan terdapat satu catatan penting dari majelis hakim yang tidak boleh diabaikan: Ira Puspadewi tidak terbukti menerima keuntungan finansial pribadi.
Pernyataan ini seharusnya memantik pertanyaan publik yang lebih besar:
Jika kerugian yang ditaksir mencapai hampir satu triliun rupiah namun tidak ada aliran dana ke pejabat puncak perusahaan, lalu di mana sesungguhnya sumber kebocoran itu berada?
Siapa yang mengendalikan proses-proses teknis yang melahirkan kerugian tersebut?
Dan lebih jauh lagi—apakah pejabat BUMN dalam posisi seperti Ira memang berhadapan dengan struktur pengambilan keputusan yang tidak sepenuhnya berada dalam kontrol mereka?
BUMN: Lingkungan Pengambilan Keputusan yang Tidak Sederhana
Sebagai mantan Dirut Sarinah, Direktur Pos Indonesia, dan terakhir Dirut ASDP selama tujuh tahun, rekam jejak profesional Ira jelas tidak lahir dari ruang kosong. Ia berpendidikan baik—mulai dari Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Master of Development Management dari Asian Institute of Management Filipina, hingga PhD dari Fakultas Ekonomi UI.
Namun di BUMN, kompetensi individual tidak pernah berdiri sendiri. Struktur birokrasi BUMN adalah gabungan antara mandat publik, tekanan politik, ekspektasi komersial, dan budaya organisasi yang sering kali tidak sinkron satu sama lain.
Apakah setiap keputusan investasi di BUMN sepenuhnya dikendalikan oleh direksi?
Ataukah direksi adalah eksekutor atas rancangan yang telah “diarahkan”, disepakati, atau bahkan diinisiasi oleh banyak kepentingan?
Di titik inilah opini publik harus lebih dewasa melihat sebuah kasus.
Vonis terhadap individu memang menyelesaikan kebutuhan hukum formal.
Tetapi itu tidak otomatis menjawab akar masalah tata kelola di BUMN.
Kasus Jembatan Nusantara: Gejala dari Sistem yang Lebih Dalam
Pada kasus PT Jembatan Nusantara, kerugian negara bukan semata soal siapa menerima apa, tetapi lebih pada bagaimana sebuah kebijakan investasi dapat lolos tanpa mekanisme kontrol yang memadai.
Jika benar tidak ada keuntungan pribadi bagi pucuk pimpinan, maka persoalan utamanya mungkin tidak berada pada motif individual, melainkan pada:
1. Proses due diligence yang lemah,
2. Penilaian aset yang tidak akurat,
3. Desakan lingkungan strategis yang tidak simetris dengan kemampuan perusahaan,
4. Ketidakseimbangan informasi antara level teknis dan level pengambil keputusan,
5. Atau bahkan budaya “ikut arus” dalam pengambilan keputusan besar di BUMN.
Publik berhak bertanya:
Apakah kerugian negara yang begitu besar dapat terjadi tanpa keterlibatan jaringan kepentingan yang lebih luas dari sekadar satu orang Direktur Utama?
Pertanyaan ini bukan tuduhan—ini kebutuhan rasional untuk membangun tata kelola sektor publik yang lebih sehat.
Vonis 4,5 Tahun: Sinyal Dua Arah
Di satu sisi, putusan 4,5 tahun menunjukkan bahwa pengadilan melihat adanya peran Ira dalam proses yang menyebabkan kerugian negara.
Namun di sisi lain, ketika jaksa menuntut 8 tahun 6 bulan, lalu hakim memutuskan hampir separuhnya, dan menyatakan tidak ada aliran dana bagi dirinya, publik mendapatkan pesan yang lebih subtil:
Ada batas antara tanggung jawab jabatan dan motif kriminal.
Dan pada kasus ini, batas itu tidak sepenuhnya tumpang tindih.
Opini publik tidak boleh berhenti pada simpulan sederhana: bahwa “Direktur Utama salah, maka Direktur Utama harus dihukum.”
Yang harus didalami justru adalah mengapa sebuah struktur besar seperti BUMN masih memungkinkan kerugian raksasa tanpa jejak benefit personal di tingkat tertinggi.
Jika kita tidak membedah sisi ini, maka sistem yang sama akan terus melahirkan korban baru—dengan wajah berbeda, tetapi dalam skenario yang sama.
Masalah Terbesar: Sistem Tidak Pernah Diadili
Kita sering bersemangat menghukum orang, tetapi enggan mengadili sistem.
Padahal, korupsi struktural jarang lahir dari niat jahat individu semata.
Ia berkembang dari “disfungsi institusional” yang dibiarkan berulang-ulang: prosedur yang tidak solid, pengawasan yang longgar, budaya birokrasi yang tidak tegas, serta campur tangan eksternal yang sulit dilihat, apalagi dibuktikan.
Kasus Ira Puspadewi membuka celah bagi publik untuk melihat gambaran besar itu.
Apakah ini berarti ia tidak bersalah?
Tidak. Hukum sudah berbicara.
Namun, apakah persoalan sebenarnya selesai dengan menghukum satu orang?
Jelas tidak.
Selama struktur BUMN masih memiliki ruang-ruang tak kasat mata yang memungkinkan keputusan multi-triliun diproses tanpa pengamanan maksimal, maka vonis ini hanya menjadi penyelesaian permukaan, bukan penyembuhan akar.
Kita Butuh Keberanian Mengoreksi Sistem, Bukan Hanya Menghukum Individu
Opini ini tidak dimaksudkan untuk membela atau menuduh.
Tujuannya adalah melihat bahwa kasus besar di BUMN tidak akan selesai jika penyelesaiannya berhenti pada level orang, sementara struktur yang memproduksi risiko dibiarkan utuh.
Kita membutuhkan BUMN yang modern, transparan, dan bebas dari tata kelola yang memungkinkan kerugian triliunan tanpa transparansi penuh.
Dan untuk mencapai itu, kita perlu lebih berani mengoreksi sistem daripada sekadar mencari siapa yang harus dipersalahkan.
Kasus Ira Puspadewi adalah cermin:
Ketika sistem tidak dibenahi, maka siapa pun yang duduk di kursi itu akan menanggung risiko yang sama.







