Porosmedia.com, Bandung — Kasus kekerasan oleh rentenir kembali mencoreng wajah kemanusiaan di Kota Bandung. Kali ini, peristiwa memilukan terjadi di Jalan AH Nasution, Gang Sukatma, Kelurahan Cipadung Wetan, Kecamatan Panyileukan. Seorang ibu rumah tangga, Sinta (nama disamarkan), menjadi korban intimidasi dan kekerasan fisik hanya karena utang sebesar Rp2 juta.
Kasus ini menyita perhatian publik setelah rekaman video dugaan kekerasan beredar di media sosial. Dalam video tersebut, terlihat pelaku yang diduga rentenir melakukan tindakan fisik terhadap korban. Kejadian ini pun langsung direspons cepat oleh Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, yang mendatangi langsung lokasi kejadian pada Kamis, 29 Mei 2025.
“Ibu Sinta melapor kepada saya, katanya habis dicekik oleh rentenir. Saya langsung datang ke sini karena sebagai pemimpin, kita harus hadir untuk melindungi warga,” ujar Erwin di hadapan warga yang berkumpul.
Berdasarkan keterangan korban, awal mula utang terjadi saat ia meminjam uang kepada rentenir sebesar Rp2 juta. Meskipun sudah mencicil dua kali, rentenir terus menagih dengan cara kasar dan diduga melakukan kekerasan. Ironisnya, pelaku sempat mengelak saat dihubungi langsung oleh Wakil Wali Kota melalui sambungan telepon, meski bukti video kekerasan beredar luas.
Menanggapi situasi darurat ini, Erwin menyatakan komitmennya untuk melunasi utang korban sebagai bentuk kepedulian pribadi, sembari menegaskan bahwa bentuk kekerasan tidak bisa ditoleransi dan harus diproses secara hukum.
“Utang itu utang, tapi kekerasan tidak bisa dibenarkan. Kalau ada unsur pidana, kita proses hukum. Saya akan bantu Ibu Sinta melunasi utangnya, tapi kita juga harus pastikan tidak ada praktik rentenir yang meresahkan seperti ini lagi di Kota Bandung,” tegasnya.
Fenomena rentenir ilegal bukan hal baru di Bandung. Di beberapa wilayah pinggiran kota seperti Cibiru, praktik peminjaman dengan bunga mencekik kerap menjerat masyarakat miskin yang tidak memiliki akses ke lembaga keuangan resmi. Ketiadaan solusi struktural membuat warga mudah tergelincir dalam skema utang yang berujung pada intimidasi hingga kekerasan.
Dalam forum warga yang dihadiri Erwin, terungkap bahwa praktik rentenir cukup marak di kawasan tersebut. Pemerintah Kota Bandung pun diminta tidak hanya hadir dalam kasus insidental, tetapi juga menyusun strategi jangka panjang pemberantasan rentenir ilegal, termasuk membuka akses pembiayaan mikro yang legal dan mudah dijangkau warga menengah ke bawah.
Erwin juga menginstruksikan agar lurah, RW, hingga camat aktif mendeteksi dan menindaklanjuti kasus-kasus serupa. Ia meminta agar pendampingan terhadap korban dilakukan secara menyeluruh, termasuk dalam pelaporan ke pihak kepolisian. Pemkot Bandung juga akan menggandeng Satgas Anti-Rentenir untuk menelusuri jaringan rentenir di wilayah lain.
“Ini bukan sekadar urusan utang. Ini tentang perlindungan warga dan keadilan. Saya minta kasus ini ditindaklanjuti, dan kita harus putus rantai praktik rentenir yang merugikan masyarakat kecil,” ujar Erwin.
Langkah cepat Wakil Wali Kota Bandung patut diapresiasi. Namun, kasus ini juga menunjukkan bahwa Bandung belum aman dari cengkeraman ekonomi informal yang eksploitatif. Diperlukan pendekatan lintas sektor—mulai dari literasi keuangan, regulasi yang kuat, hingga layanan pinjaman rakyat yang adil dan transparan—untuk memastikan warga tidak terus menjadi korban ekonomi bayangan yang brutal.
Kota Bandung tidak hanya butuh reaksi cepat, tetapi juga kebijakan sosial yang strategis dan berpihak. Perlindungan terhadap warga miskin dari predator ekonomi harus menjadi agenda prioritas yang melampaui pencitraan seremonial.