Porosmedia.com, Nabire, Papua Tengah –Wakil Ketua IV DPR Papua Tengah, John NR. Gobai, menegaskan urgensi pembentukan regulasi daerah yang mengatur secara jelas dan tegas mengenai pemerintahan adat di Papua Tengah. Ia menilai, penataan nomenklatur dan kewenangan pemerintahan adat merupakan bagian dari amanat konstitusi sekaligus kebutuhan mendesak dalam memperkuat posisi masyarakat hukum adat di era Otonomi Khusus.
Gobai menjelaskan bahwa sistem pemerintahan adat telah hidup jauh sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pengakuan ini ditegaskan dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup serta sesuai perkembangan zaman dan peraturan perundang-undangan.
Kerangka hukum tersebut diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang membuka ruang bagi keberadaan desa adat dengan nama dan struktur yang disesuaikan dengan karakteristik budaya masyarakat setempat.
“Artinya, penyebutan nama desa adat tidak harus seragam. Negara memberikan ruang agar identitas asli masyarakat hukum adat tetap hidup dan tidak terhapus oleh sistem administrasi modern,” jelas Gobai.
Dalam pandangan Gobai, penyebutan “kampung adat” seperti yang dipakai dalam nomenklatur administratif saat ini belum mencerminkan identitas masyarakat Papua. Ia menegaskan bahwa setiap suku telah memiliki nama pemerintahan kampung secara turun-temurun—nama yang menjadi identitas historis dan sosial masyarakat sebelum negara hadir.
“Penggunaan nama asli kampung berdasarkan suku bukan sekadar seremonial. Itu adalah bentuk pengakuan negara terhadap sistem pemerintahan lokal yang telah mengatur kehidupan masyarakat Papua sejak generasi awal,” ungkapnya.
Ia kemudian mencontohkan nama-nama pemerintahan adat yang telah ada secara tradisional: Isorei dan Taparu (Mimika), Emawa dan Nduni (wilayah adat Mee Pago), Tongoi dan Kunume (Puncak dan Puncak Jaya).
Menurutnya, nomenklatur tersebut seharusnya dapat digunakan secara resmi, sebagaimana daerah lain di Indonesia menetapkan istilah khas mereka seperti Nagari di Sumatra Barat atau Negeri/Ohoi di Maluku.
Gobai mendorong percepatan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasi) Pemerintahan Adat sebagai instrumen hukum yang memberikan kedudukan, kewenangan, serta struktur pemerintahan adat yang jelas.
“Perdasi harus memuat daftar nama kampung adat berdasarkan identitas suku di setiap kabupaten/kota. Dengan dasar itu, pemerintah kabupaten dapat menyusun Perda turunan sesuai konteks sosial dan budaya masing-masing wilayah,” tegasnya.
Gobai menilai, regulasi tersebut sangat penting untuk: memperkuat pengakuan negara terhadap masyarakat adat, memastikan kewenangan pemerintahan adat berjalan sesuai hukum, memberikan kepastian bagi masyarakat adat dalam pembangunan, mencegah tumpang tindih nomenklatur dan kewenangan desa/kampung.
Sebagai Daerah Otonom Baru (DOB), Papua Tengah membutuhkan landasan kebijakan yang berpihak pada masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat dan penjaga identitas budaya. Gobai berharap, Pemerintah Provinsi dan DPR Papua Tengah dapat segera mengawal pembentukan regulasi ini sebagai bagian dari implementasi Otonomi Khusus.
“Kita sedang membangun Papua Tengah yang modern, tetapi tidak boleh menghilangkan akar budaya masyarakat adat. Identitas kampung harus kembali pada nama yang diwariskan leluhur,” tutupnya.
Ing Elsa – Martika Edison | Porosmedia







