Catatan Cak AT
Porosmedia.com — Ketika dunia menghadapi krisis kemanusiaan di Gaza, seorang anggota Kongres Amerika Serikat, Randy Fine, justru melontarkan gagasan paling ekstrem: bom nuklir sebagai solusi. Bukan rekayasa. Fine menyarankan agar Gaza dihancurkan seperti Amerika menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki—sebagai cara “menang” melawan Hamas.
Pernyataan itu tak hanya menggemparkan, tapi juga menguak wajah gelap politik global yang tengah kehilangan nalar, akhlak, dan kemanusiaan. Maka, pertanyaannya: apakah kita sedang menyaksikan kebangkitan rasionalitas barbar?
Frustrasi yang Meledak Dalam Ego Kekuasaan
Dari sisi psikologis, pernyataan Randy Fine mencerminkan psikologi kekalahan. Saat kekuasaan tidak mampu mengendalikan situasi, amarah menjadi pelarian. Ketika kemenangan tak kunjung datang, maka penghancuran total menjadi pelipur ego yang remuk.
Sejak konflik Gaza meletus, Israel—dengan dukungan penuh Amerika Serikat—tidak mampu “menundukkan” Hamas sepenuhnya. Maka lahirlah ide sembrono yang justru menyingkap kegagalan strategi militer dan diplomatik: menghancurkan Gaza secara total. Sebuah bentuk fatalisme bersenjata, bukan strategi perang. Ini bukan solusi. Ini psikosis kekuasaan.
Rasisme dan Dehumanisasi Sebagai Agenda Negara
Fine menyebut Palestina sebagai budaya kekerasan yang harus dimusnahkan. Pernyataan ini berakar dari rasisme struktural dan dehumanisasi. Ini bukan hal baru dalam sejarah. Kita telah mendengar istilah “kecoa” untuk Yahudi dari Hitler, “sub-human” untuk warga kulit hitam Afrika Selatan. Kini, kita mendengar nada yang sama dari Kongres Amerika Serikat.
Ketika manusia tak lagi diperlakukan sebagai manusia, maka pembunuhan massal dianggap wajar. Sejarah telah menunjukkan ke mana jalan seperti ini akan membawa: ke genosida.
Politik Sebagai Terapi Dendam
Pernyataan Fine tak lahir dari kecermatan politik, melainkan dari dendam yang belum terobati. Ini bukan geopolitik, ini terapi frustrasi. Ketika kekalahan tak bisa diakui, maka panggung politik berubah menjadi ruang histeria. Seolah dunia sedang dikelola oleh anak-anak yang marah karena kalah bermain dan ingin membalik papan permainan.
Matinya Moral Global
Yang lebih mengerikan: lebih dari separuh penduduk Gaza adalah anak-anak. Menyerukan pemboman nuklir atas mereka adalah kegagalan kolektif dunia dalam menjaga batas moral minimum. Saat ide seperti ini dapat disampaikan tanpa sanksi, kita patut bertanya: apakah peradaban telah bergeser dari akal ke kekuasaan brutal?
CAIR (Dewan Hubungan Amerika-Islam) mengecam pernyataan Fine sebagai “hasutan eksplisit untuk genosida”. Tapi apakah Kongres AS akan bertindak? Atau akan berlindung di balik retorika diplomatik dan kekebalan politik?
Dunia Butuh Akal, Bukan Bom
Bom nuklir bukan hanya alat pemusnah, ia adalah simbol kehancuran peradaban. Dan ketika ide semacam itu bisa dilontarkan di forum resmi negara, maka kita tengah menyaksikan krisis kemanusiaan dan krisis kewarasan dalam satu tarikan napas.
Pertanyaannya kini menjadi sangat sederhana namun mendalam: siapa sebenarnya yang membahayakan dunia? Mereka yang terpojok dalam tanah yang diblokade, atau mereka yang duduk di ruangan ber-AC, memegang mikrofon, dan menyerukan pembantaian massal?
Dunia tidak butuh lebih banyak bom. Dunia butuh lebih banyak akal. Dan jujur saja, Randy Fine bukan solusi. Dia adalah gejala penyakit yang merusak demokrasi dan kemanusiaan.
Ahmadie Thaha (Cak AT)
Ma’had Tadabbur al-Qur’an
27 Mei 2025