Porosmedia.com, Bandung – Dari kejauhan, Gedung Sate hari ini tampak anggun dan tenang. Ornamen tusuk sate di puncaknya seperti memaku sejarah panjang yang tidak hanya bicara soal arsitektur kolonial, tetapi juga tentang darah, keberanian, dan keberanian sekelompok pemuda Republik yang memilih mati daripada menyerahkan martabat bangsanya.
Setiap tanggal 3 Desember, momentum itu kembali hidup: Hari Bakti Pekerjaan Umum, hari ketika tujuh pemuda gugur mempertahankan gedung yang—di masa pergolakan itu—menjadi simbol berdirinya negara yang masih merah secara politik namun bulat tekadnya.
Tanggal 3 Desember 1945, pagi Bandung berjalan seperti biasa. Namun di Gedung Sate, yang baru dua bulan dikuasai pemuda Indonesia setelah Proklamasi, suasana berbeda.
Sebanyak 21 petugas Pekerjaan Umum berjaga. Mereka bukan tentara profesional. Mereka adalah pegawai teknis, mekanik bengkel PU, staf administrasi, dan pemuda yang tahu bahwa gedung itu bukan sekadar kantor, tetapi simbol kedaulatan negara yang baru lahir.
Menjelang siang, pasukan Sekutu/NICA bergerak menuju Gedung Sate. Kendaraan lapis baja, senapan otomatis, dan pasukan terlatih mengepung gedung dari seluruh arah.
Ultimatum diberikan: Serahkan Gedung Sate—atau serangan dimulai. Jawaban para pemuda itu tegas: “Tidak.”
Hanya berbekal golok, bambu runcing, dan beberapa senapan tua peninggalan Jepang, mereka melawan gempuran pasukan bersenjata lengkap selama hampir tiga jam. Tembakan membabi buta, suara pecahan kaca, dan pekikan perlawanan bergema di lorong-lorong Gedung Sate.
Hanya satu kata yang tak pernah keluar dari mulut mereka: menyerah.
Dalam pertempuran itu, tujuh pemuda gugur. Yang tragis: jenazah mereka tak pernah ditemukan sampai hari ini. Mereka kemudian dikenang sebagai Pahlawan Sapta Taruna: Yakni: 1. Didi Hardianto Kamarga, 2. Muchtaruddin, 3. Soehodo, 4. Rio Soesilo, 5. Soebengat, 6. Ranu dan 7. Soerjono.
Hilangnya jasad mereka menyisakan luka dan misteri, tetapi juga meninggalkan warisan: sebuah pengorbanan yang tidak pernah menuntut panggung.
Bagi insan PUPR, kisah ini bukan sekadar sejarah, tetapi fondasi moral: bekerja bukan untuk popularitas, tetapi untuk keberlangsungan hidup rakyat.
Mengapa Gedung Sate dipertahankan mati-matian? Karena pada masa itu, gedung ini adalah:
• Pusat administrasi infrastruktur Jawa Barat
• Gudang arsip strategis yang menentukan arah pembangunan Republik
• Simbol legitimasi pemerintah baru terhadap wilayah Bandung
Jika gedung ini direbut, maknanya jelas: pemerintah Republik kehilangan pijakan simbolis di Jawa Barat.
Karenanya, perlawanan 21 pemuda itu bukan sekadar pertahanan gedung—itu adalah pertaruhan terhadap kedaulatan.
Tujuh puluh sembilan tahun berlalu. Indonesia tumbuh menjadi negara besar dengan infrastruktur yang makin maju. Di balik jalan tol, bendungan, rumah rakyat, jembatan, hingga sistem air minum, ada semangat yang berasal dari perlawanan kecil namun monumental itu.
Hari ini, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengemban empat pilar besar pembangunan nasional:
• Sumber Daya Air (SDA): bendungan, sungai, irigasi
• Bina Marga: jalan nasional, jembatan, jalan tol
• Cipta Karya: permukiman, sanitasi, air minum
• Perumahan: rumah rakyat, rusun, rumah khusus
Dan semua itu berdiri di atas pesan Sapta Taruna: Bekerja keras, bergerak cepat, bertindak tepat.
Bendungan: Senjata Baru Republik
Jika tahun 1945 Republik mempertahankan gedung, hari ini Republik mempertahankan masa depan melalui bendungan.
Bendungan modern bukan lagi sekadar tempat menampung air. Ia kini adalah:
• Mesin ketahanan pangan
• Sumber air baku untuk jutaan warga
• Pembangkit listrik tenaga air (PLTA)
• Peredam banjir kota-kota besar
• Penggerak ekonomi wisata dan industri
Program percepatan pembangunan bendungan beberapa tahun terakhir memperlihatkan keseriusan negara mengelola air sebagai sumber kehidupan dan sumber kekuatan.
Dari Jatigede hingga Raknamo, dari Bili-Bili hingga bendungan-bendungan baru di kawasan kering, Indonesia ingin memastikan ketahanan airnya tidak lagi bergantung pada musim.
Di halaman belakang Gedung Sate, Monumen Sapta Taruna berdiri sunyi. Nama-nama itu terukir, tetapi kisahnya tetap hidup setiap kali insan PUPR turun ke lapangan, dari bendungan terpencil hingga proyek tol yang menembus gunung.
Hari Bakti PU bukan sekadar peringatan.
Ia adalah pengingat bahwa pembangunan Indonesia berdiri di atas pengorbanan anak-anak bangsa yang mencintai Republik lebih dari dirinya sendiri.
Sapta Taruna tidak dimakamkan, tetapi mereka hidup di setiap jalan yang dibangun, setiap jembatan yang menghubungkan, setiap bendungan yang menahan air demi kehidupan, dan setiap rumah rakyat yang berdiri di pelosok negeri.
Mereka bukan hanya bagian dari sejarah PUPR. Mereka adalah bagian dari lonceng abadi Indonesia: membangun tanpa pamrih.







