Gajah Tak Pernah Masuk Wilayah Manusia — Manusia yang Merampok Wilayah Gajah

Tiga Dekade Krisis Habitat Tesso Nilo dan Perjuangan Gajah Sumatera yang Kian Terdesak

Avatar photo

Porosmedia.com – Pada awal 1980-an, hamparan hutan di Riau masih begitu luas. Kanopi hijau membentang tanpa putus, sungai-sungai mengalir bening, dan Gajah Sumatera hidup dalam kelompok besar di berbagai kantong habitat. Di kawasan yang kini dikenal sebagai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), kondisi mereka masih aman. Ratusan gajah berkeliaran bebas di hutan dataran rendah yang kala itu nyaris tak tersentuh manusia.

Belum ada angka pasti khusus untuk Tesso Nilo, tetapi populasi gajah di seluruh Riau pada masa itu mencapai lebih dari 1.000 individu, dengan wilayah jelajah yang saling terhubung. Yang jelas: lingkungan hidup mereka utuh — dan itu sudah cukup untuk memastikan keberlanjutan.

Situasi berubah drastis memasuki awal 2000-an. Ekspansi perusahaan kayu, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), dan pembukaan kebun sawit mulai menggerus kawasan hutan. Jalur jelajah gajah terpotong, ruang hidup menyempit, dan bentang alam yang selama ribuan tahun menjadi ruang interaksi ekologis mendadak berubah menjadi kepingan-kepingan sempit.

Sekitar tahun 2003, survei lapangan memperkirakan hanya 70–90 individu yang masih bertahan di Tesso Nilo dan sekitarnya. Mereka terdesak ke blok-blok kecil, sementara jalan logging, kanal baru, dan aktivitas manusia memutus jalur jelajah yang menjadi pusat orientasi hidup mereka.

Baca juga:  Wapres Nilai 27 Polres Terus Lakukan Transformasi

Pada 2004, pemerintah menetapkan Tesso Nilo sebagai Taman Nasional. Harapannya jelas: melindungi sisa populasi gajah yang mulai terfragmentasi dan menjaga bentang hutan dataran rendah terakhir di Sumatera.

Upaya patroli yang meningkat membuat pendataan lebih akurat. Pada 2009, populasi gajah diperkirakan sekitar ±200 individu, mencerminkan pengumpulan data yang lebih rapi, bukan pemulihan yang signifikan.

Namun setelah 2009, tekanan terhadap TNTN melonjak drastis. Perambahan untuk kebun sawit ilegal meningkat dalam skala yang sulit dibantah. Hutan menyusut cepat, koridor jelajah hilang, dan konflik manusia–gajah semakin sering muncul di ladang, kampung, atau kebun baru yang dibuka.

Survei 2012 menunjukkan populasi kembali menurun menjadi sekitar 120–150 individu. Gajah tak punya pilihan selain bergerak ke tempat yang dulu adalah rumah mereka — tetapi kini diisi manusia.

Antara 2015 hingga 2025, catatan konservasi menyimpan kenyataan pahit:
23 gajah mati akibat jerat, racun, konflik, dan kehilangan habitat.

Bagi spesies dengan tingkat reproduksi lambat — seekor induk hanya melahirkan satu anak setiap 4–6 tahun — angka itu bukan sekadar statistik. Setiap kematian berarti hilangnya satu generasi masa depan.

Baca juga:  FPN Minta Paus Tekan Israel Hentikan Genosida di Palestina

Memasuki 2025, laporan pemerintah dan lembaga konservasi menyebutkan sekitar 150 individu gajah liar tersisa di Tesso Nilo. Secara angka, populasi tampak stabil dibanding satu dekade lalu. Namun kenyataan di lapangan jauh lebih rapuh: hutan terus terfragmentasi, tekanan ruang meningkat, dan jalur jelajah tidak lagi utuh.

Yang bertahan hari ini bukan karena kondisi membaik — tetapi karena gajah bertahan dalam keadaan terdesak.

Gajah tidak pernah berinisiatif memasuki wilayah manusia.
Manusia lah yang memindahkan batas-batas itu.

Ketika hutan lenyap, gajah terlihat “masuk kampung”.
Padahal yang terjadi adalah sebaliknya: kampung dan kebunlah yang masuk ke wilayah hidup gajah.

Konflik bukan karena gajah berubah, tetapi karena peta ekologinya disobek perlahan.

Namun angka 150 itu juga menyimpan pesan: mereka belum hilang.
Populasi yang rapuh tetap memiliki peluang bangkit—asal manusia memberi ruang yang adil.

Harapan itu bergantung pada tiga hal: 1. Perlindungan ketat kawasan inti TNTN. 2. Pemulihan koridor jelajah yang hilang. 3. Penegakan hukum terhadap perambahan dan perdagangan satwa

Baca juga:  Dyah Pitaloka Citraresmi, putri yang dijodohkan dengan Hayam Wuruk Raja Majapahit 

Tesso Nilo adalah cermin: ketika ruang hidup dirampas, satwa liar akan berjuang sendirian. Dan ketika mereka kalah, yang hilang bukan hanya gajah — tetapi keseimbangan ekologis yang menopang kehidupan manusia sendiri.

Kau Peduli, Aku Lestari.
Salam Lestari!