Porosmedia.com, Bandung – 18 Oktober 2025, Suasana haru menyelimuti ruang pemutaran film dokumenter “Koesroyo: The Last Man Standing” di CGV 23 Bandung, Sabtu (18/10/2025). Air mata dan tepuk tangan hangat mengiringi kisah hidup Yok Koeswoyo, personel terakhir dari grup legendaris Koes Bersaudara atau yang lebih dikenal dengan Koes Plus, yang telah menorehkan sejarah panjang dalam perjalanan musik Indonesia.
Film dokumenter berdurasi 60 menit yang disutradarai oleh Linda Ochy ini bukan sekadar biografi, melainkan sebuah perjalanan batin tentang keluarga, perjuangan, dan makna hidup di balik lagu-lagu abadi Koes Plus yang telah menemani lintas generasi bangsa ini.
Sebuah Persembahan dari Anak untuk Ayah
Sebelum pemutaran film, Sari Koeswoyo, putri dari Yok Koeswoyo, tampil dengan nada penuh rasa haru. Ia menjelaskan bahwa film ini adalah bentuk penghormatan kepada sang ayah, satu-satunya personel Koes Bersaudara yang masih hidup.
“Film dokumenter ini saya produksi sebagai persembahan untuk orang tua saya, dan untuk masyarakat yang ingin mengenal kisah hidup beliau sebagai personel terakhir dari Koes Bersaudara,” ungkap Sari Koeswoyo di sela acara.
Film “Koesroyo: The Last Man Standing” mengungkap sisi pribadi Yok yang jarang tersentuh publik — tentang nilai keluarga, spiritualitas, hingga dedikasi pada musik yang menjadi napas hidupnya.
“Nama asli saya Koesroyo, dari kata Kusuma dan Raya — artinya Bunga Raya,” ujar Yok membuka kisah dalam film tersebut, menyiratkan filosofi sederhana namun mendalam: keindahan yang tumbuh dan mekar di tengah tantangan kehidupan.
Dari Penjara Hingga Intelijen Negara
Film ini tak hanya menyuguhkan nostalgia musik, tetapi juga menyingkap sisi sejarah yang jarang diungkap: kisah penangkapan Yok dan saudara-saudaranya pada masa Orde Lama, serta perjalanan mereka sebagai bagian dari dinamika sosial-politik kala itu.
Kisah hidup Yok diwarnai peran tak terduga sebagai petugas intelijen negara, sebuah babak yang memperlihatkan bagaimana seni, nasionalisme, dan pengabdian dapat bertemu dalam satu sosok yang rendah hati.
Selain Yok sendiri, sejumlah sahabat, kerabat, dan tokoh budaya turut berbagi pandangan dalam film ini, di antaranya Michelle Koeswoyo, David Tarigan, Hilmar Farid, Ais Suhana, Dewa Indra, serta para penggemar setia yang menjadi saksi perjalanan panjang Koes Bersaudara.
Roadshow Nasional dan Inklusi Sosial
Bandung menjadi kota keempat dalam rangkaian roadshow perayaan “Koesroyo: The Last Man Standing”, setelah sebelumnya diputar di Jakarta, Solo, dan Yogyakarta. Setiap kota menghadirkan nuansa emosional tersendiri, menegaskan betapa besar warisan budaya Koes Bersaudara bagi publik Indonesia.
Yang menarik, pemutaran film di Bandung kali ini mengusung konsep inklusif melalui program Teman Bisik, di mana penonton disabilitas netra mendapat pendampingan narasi audio secara langsung agar tetap dapat menikmati alur film dengan nyaman. Puluhan penonton netra hadir bersama tamu undangan khusus dalam suasana penuh empati dan kehangatan.
Program inklusif ini merupakan kolaborasi antara penyelenggara dan komunitas sosial seperti Voluntrip Kita Bisa, Kita Bisa Experience, serta Buah Tangan Kanan, yang menunjukkan bahwa seni dan kemanusiaan dapat berjalan beriringan untuk menghadirkan makna yang lebih luas.
Spirit Musik dan Kemanusiaan
Lebih dari sekadar film, “Koesroyo: The Last Man Standing” adalah sebuah perayaan nilai-nilai hidup: ketulusan, persaudaraan, dan cinta terhadap tanah air. Melalui dokumentasi perjalanan musik dan kemanusiaan, penonton diajak untuk merenungkan bahwa karya sejati tak pernah lekang oleh waktu.
Film ini juga telah menorehkan prestasi di kancah internasional, di antaranya:
Finalist Selection di La International Short Film Festival 2024
Official Selection di European Short Film Festival 2024
Finalist Film Competition di Festival Film Indonesia 2024
Keberhasilan ini menjadi bukti bahwa kisah hidup Yok Koeswoyo dan warisan Koes Bersaudara memiliki daya jangkau universal — menginspirasi tidak hanya penggemar musik tanah air, tetapi juga penonton internasional yang mengagumi kejujuran dan keteguhan karya.
Makna Sejati dari “The Last Man Standing”
Dalam konteks lebih luas, perayaan “Koesroyo: The Last Man Standing” adalah refleksi tentang keteguhan hati dalam berkarya dan bertahan di tengah perubahan zaman. Yok Koeswoyo adalah simbol dari semangat yang tak padam, sosok yang menjaga nyala cinta terhadap musik dan kemanusiaan hingga akhir hayat.
Acara ini bukan sekadar mengenang masa lalu, melainkan merayakan perjalanan panjang yang penuh inspirasi — bahwa seni sejati bukan tentang ketenaran, melainkan tentang makna, dedikasi, dan ketulusan hati.
Sebagaimana pesan moral yang mengiringi film ini:
“Karya boleh menua, tapi semangat berkarya harus tetap muda.”