Porosmedia.com, Bandung – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung kembali menjadi sorotan publik setelah menyampaikan pandangan umum fraksi-fraksi terhadap empat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) usulan Wali Kota Bandung dalam rapat paripurna, Rabu (11/6/2025). Keempat raperda ini masuk dalam Program Pembentukan Perda (Propemperda) Tahun 2025 dan dinilai krusial bagi arah kebijakan kota lima tahun ke depan.
Dalam rapat yang dipimpin Ketua DPRD H. Asep Mulyadi, didampingi Wakil Ketua II Dr. H. Edwin Senjaya dan Wakil Ketua III Rieke Suryaningsih, keempat raperda yang dibahas antara lain:
1. Raperda tentang Penyediaan, Penyerahan, dan Pengelolaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Perumahan (PSU);
2. Raperda tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren;
3. Raperda tentang Keberagaman Kehidupan Bermasyarakat di Kota Bandung;
4. Raperda tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029.
Secara substantif, keempat raperda tersebut memuat hal-hal penting: dari perbaikan tata kelola perumahan, penguatan institusi pendidikan keagamaan, pengelolaan keberagaman sosial, hingga arah pembangunan strategis lima tahun mendatang. Namun demikian, muncul pertanyaan kritis: apakah ini betul-betul akan dieksekusi atau kembali jadi daftar formalitas tahunan yang minim implementasi?
Sebagaimana diatur dalam PP Nomor 12 Tahun 2018, pembicaraan tingkat I dimulai dari penjelasan kepala daerah, pandangan umum fraksi, dan kemudian tanggapan wali kota. Saat ini DPRD masih berada di tahap pandangan umum fraksi, yang disampaikan oleh seluruh perwakilan partai, antara lain Ahmad Rahmat Purnama (PKS), drg. Maya Himawati (Gerindra), Iqbal Mohamad Usman (Golkar), H. Sutaya (PDIP), Drs. Heri Hermawan (NasDem), Muhamad Syahlevi Erwin Apandi (PKB), dan Yoel Yosaphat (PSI).
Namun, publik belum melihat detail isi kritik atau dukungan fraksi secara terbuka. Tidak ada penjelasan rinci di ruang publik tentang bagaimana masing-masing fraksi memandang urgensi dan kekurangan dari raperda ini. Di sinilah transparansi menjadi problem struktural yang masih belum dijawab oleh DPRD Kota Bandung secara tuntas.
Raperda PSU, misalnya, seharusnya menjadi jalan keluar dari masalah klasik di Bandung: banyak perumahan yang tak memiliki fasos-fasum legal dan terpelihara. Ini adalah problem warisan dari lemahnya pengawasan Dinas Tata Ruang dan Perkim di masa lalu. Raperda ini diharapkan dapat memberi dasar hukum yang kuat untuk penyerahan aset dari pengembang kepada pemkot, namun sayangnya, belum terdengar komitmen kuat dari DPRD untuk mengawalnya hingga tuntas.
Raperda tentang fasilitasi pesantren di Kota Bandung pun bukan tanpa kritik. Meski di permukaan terdengar progresif, namun sejumlah akademisi dan pengamat menyayangkan belum jelasnya indikator keberpihakan dan sistem akuntabilitas keuangan. Dikhawatirkan, perda ini malah menjadi alat distribusi anggaran yang tidak merata—atau bahkan sarana politik identitas menjelang pilkada.
Raperda tentang Keberagaman Kehidupan Bermasyarakat bisa menjadi langkah penting dalam menguatkan kohesi sosial. Tapi lagi-lagi, tanpa kerangka implementasi yang jelas—seperti peta kerawanan intoleransi, metode pengarusutamaan inklusi sosial, hingga sistem pelaporan konflik horizontal—perda ini bisa gagal menjadi alat solusi konkret.
Paling strategis di antara semuanya tentu Raperda RPJMD 2025–2029. Inilah dokumen arah pembangunan yang akan menentukan masa depan Kota Bandung di era pasca-pandemi, disrupsi digital, dan krisis iklim. Namun publik belum melihat bagaimana dokumen ini akan merespons isu-isu konkret seperti krisis pasar tradisional, kemacetan kronis, pengangguran anak muda, atau revitalisasi sungai-sungai kota.
Kritik utama terhadap praktik legislasi lokal di Bandung adalah lemahnya proses deliberatif yang melibatkan publik. Raperda kerap hanya dibahas di ruang tertutup, dengan partisipasi masyarakat yang bersifat simbolik. Jika DPRD dan Pemkot Bandung tidak membuka ruang partisipatif yang luas, keempat raperda ini berisiko menjadi produk regulasi yang tidak menjawab persoalan nyata warga.
DPRD harus mulai berubah. Bukan hanya sebagai lembaga yang menyetujui dan menyampaikan pandangan umum, tapi juga sebagai fasilitator demokrasi lokal yang menjamin setiap perda lahir dari perdebatan publik yang sehat, terbuka, dan transformatif.