DPRD Kota Bandung Bentuk 4 Pansus Baru, Jawaban Wali Kota Disampaikan Tertulis: Langkah Politik

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Dalam rapat paripurna ke-6 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2024–2025 yang digelar Rabu (11/6), DPRD Kota Bandung resmi membentuk empat Panitia Khusus (Pansus) baru dan menerima dokumen jawaban tertulis dari Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan. Namun, di balik dinamika formal ini, publik bertanya: apakah proses ini benar-benar mencerminkan iktikad reformis legislatif dan eksekutif, atau sekadar formalitas birokrasi?

Satu hal yang menonjol dari agenda paripurna kali ini adalah keputusan Wali Kota untuk tidak menyampaikan jawaban secara langsung di forum terbuka, melainkan dalam bentuk dokumen tertulis. Sikap ini menimbulkan tanda tanya di kalangan pengamat kebijakan dan konstituen kritis. Di saat publik menuntut transparansi dan dialog terbuka, mengapa Wali Kota justru memilih jalur administratif?

“Penyampaian tertulis memang sah secara aturan, tapi substansi komunikasi politik kepada publik jadi hilang. Padahal, isu-isu yang dibahas sangat strategis,” ujar seorang aktivis pemantau legislatif yang enggan disebutkan namanya.

Adapun empat Raperda yang tengah digodok DPRD melalui Pansus baru meliputi:

Baca juga:  Kelompok Marginal Dapat Hak Pilih di Pilkada 2024

1. Penyediaan, Penyerahan, dan Pengelolaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU);

2. Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren;

3. Keberagaman Kehidupan Bermasyarakat di Kota Bandung;

4. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029.

Dari keempat Raperda tersebut, dua di antaranya—yakni soal PSU dan RPJMD—menyentuh langsung aspek vital perencanaan kota dan arah kebijakan pembangunan. Ironisnya, tidak ada penjelasan konkret dalam forum tentang bagaimana Raperda tersebut akan menyelesaikan problem mendesak warga, seperti ketimpangan infrastruktur pasar, stagnasi penataan permukiman, hingga peran investor swasta dalam PSU.

Sementara itu, Raperda tentang keberagaman kehidupan bermasyarakat dan fasilitasi pesantren dinilai positif, namun patut dicermati agar tidak terjebak pada simbolisme identitas tanpa solusi struktural atas intoleransi dan fragmentasi sosial di kota ini.

Pembentukan Pansus 7 hingga 10 dalam satu forum disahkan tanpa perdebatan panjang. Ini menimbulkan spekulasi bahwa langkah tersebut lebih bernuansa bagi-bagi kerja politik di tengah friksi internal antarfraksi. Pertanyaannya: sejauh mana efektivitas Pansus ini dapat menjawab urgensi warga, bukan sekadar menuntaskan kewajiban administratif legislator?

Baca juga:  Aktivis 98: Jaga Tindakan Berbahaya Mengkhianati Cita-cita Reformasi

Wakil Ketua II DPRD Kota Bandung, Edwin Senjaya yang memimpin rapat, hanya menyampaikan ucapan terima kasih dan ajakan agar Pansus bekerja sungguh-sungguh. Namun, belum ada satu pun anggota DPRD yang mengangkat isu ketertinggalan pembenahan pasar tradisional, polemik pengangkatan direksi BUMD, atau mandeknya audit terhadap proyek-proyek mangkrak di era sebelumnya.

RPJMD adalah peta jalan pembangunan kota selama lima tahun. Ini akan menjadi ajang penilaian terhadap visi dan komitmen Wali Kota Muhammad Farhan. Tapi mengingat dokumen RPJMD diserahkan tanpa presentasi langsung, publik makin skeptis: apakah ini RPJMD yang disusun dengan semangat kolaboratif atau sekadar dokumen formal hasil birokrasi tertutup?

Sebuah sumber dari internal Pemkot menyebut bahwa penyusunan RPJMD belum sepenuhnya melibatkan kelompok masyarakat sipil atau akademisi lokal. “Ada kecenderungan mengulang pola lama: menutup ruang partisipasi publik,” ujarnya.

Selain itu, Pengamat Kebijakan Publik dan Transparansi Kota Bandung Kang Wahyu mencatat bahwa pembentukan Pansus seharusnya menjadi pintu masuk bagi pembaruan tata kelola kebijakan yang lebih demokratis dan responsif. Namun tanpa kejelasan strategi komunikasi publik dan partisipasi yang inklusif, pembentukan Pansus bisa terjebak menjadi aktivitas elitis yang menjauh dari denyut kebutuhan rakyat.

Baca juga:  Visi Ekonomi dan Pembangunan Sang Presiden NKRI

Apalagi di tengah sorotan terhadap Perumda Pasar Juara, polemik revitalisasi pasar tradisional, dan lemahnya kontrol anggaran publik, baik eksekutif maupun legislatif perlu membuktikan bahwa mereka bekerja untuk rakyat—bukan sekadar menyelesaikan daftar agenda di lembar kerja, kritik Wahyu lebih mendalam.