Dedi Mulyadi: Dari Aktivisme Kampus ke Kursi Gubernur Jabar, Antara Citra, Kuasa, dan Realita

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung — Nama Dedi Mulyadi dalam panggung politik Jawa Barat bukan sekadar representasi kekuasaan. Ia adalah paradoks antara kesederhanaan simbolik dan manuver kekuasaan yang kompleks. Kariernya mengular dari aktivisme kampus hingga menduduki jabatan Gubernur Jawa Barat. Namun, apakah ia pemimpin ideal atau hanya selebritas politik yang sukses memoles citra?

Asal Muasal dan Lahirnya “Dedi Mulyadi” sebagai Figur Publik

Lahir di Subang, 11 April 1971, Dedi Mulyadi berasal dari keluarga sederhana. Masa kecilnya ditempa oleh kerasnya hidup di desa. Ia tumbuh dalam tradisi sunda yang kuat, nilai-nilai itu kemudian banyak membentuk narasi politik dan simbolisme budaya yang ia eksploitasi dalam karier publiknya.

Namun, “Dedi Mulyadi” sebagai figur politik lahir bukan di desa, melainkan di ruang-ruang publik yang ia penuhi dengan narasi kebudayaan, nasionalisme lokal, dan keterlibatan akar rumput. Ia bukan tokoh instan, tapi juga bukan sepenuhnya lahir dari garis perjuangan murni.

Dari Aktivis Mahasiswa ke Panggung Politik

Jejak aktivismenya dimulai saat menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Sekolah Tinggi Hukum Purnawarman. Ia dikenal vokal dalam menyuarakan isu-isu sosial. Namun, aktivitasnya kala itu tidak sedramatis tokoh-tokoh mahasiswa 1998. Dedi lebih memilih jalur kultural ketimbang konfrontatif.

Bagi banyak kalangan, keterlibatannya di organisasi kampus dan KNPI menjadi batu loncatan, bukan sebagai perlawanan terhadap status quo, tetapi membangun koneksi dan merebut ruang dalam sistem.

Menjadi Bupati Purwakarta: Sukses Simbolik dan Kontroversi

Menjabat sebagai Bupati Purwakarta dua periode (2008–2018), Dedi membangun reputasi sebagai pemimpin yang pro-budaya Sunda. Ia membangun tugu-tugu, mempopulerkan pakaian adat, dan memaksimalkan narasi lokal. Namun, substansi kebijakan ekonominya kerap dipertanyakan.

Baca juga:  Dari Tahun 2019 - 2021 Kualitas Air Citarum Terus Membaik

Beberapa kebijakannya dianggap teatrikal — seperti pelarangan minimarket berjaringan nasional dan penegakan perda kearifan lokal yang seringkali tak menyentuh akar persoalan kemiskinan dan infrastruktur desa secara sistemik. Namun ia tetap dipuja, terutama oleh warga yang merasa terwakili secara simbolik.

Ia juga menuai konflik dengan FPI karena kebijakannya soal pemaknaan pluralisme dalam konteks Sunda.

Menjadi Anggota DPR RI: Dari Budaya ke Legislasi

Pasca dua periode sebagai bupati, Dedi naik ke DPR RI lewat Partai Golkar. Di Senayan, ia tergolong aktif dalam Komisi IV yang membidangi pertanian dan lingkungan. Namun, kontribusinya tidak begitu menonjol dalam membentuk kebijakan strategis nasional.

Meski rajin turun ke daerah pemilihan, banyak pengamat menilai bahwa Dedi lebih memaksimalkan kehadirannya di media sosial ketimbang mendorong legislasi progresif. Citra tetap menjadi senjata utamanya.

Perceraian dan Narasi Kesendirian

Perceraian Dedi Mulyadi dengan Anne Ratna Mustika — Bupati Purwakarta saat itu — menjadi perbincangan publik. Banyak yang mengaitkannya dengan ambisi politik dan perbedaan orientasi kekuasaan.

Pasca cerai, Dedi memosisikan diri sebagai sosok laki-laki Sunda mandiri dan religius yang hidup “nyantri” dengan caranya sendiri. Gaya komunikasinya berubah lebih tenang, spiritual, dan “dekat dengan wong cilik”, walau tetap penuh kalkulasi pencitraan.

Keluar dari Golkar: Luka Lama Keluarga Besar Golkar Jabar

Pindahnya Dedi dari Partai Golkar ke Gerindra dianggap pengkhianatan oleh banyak kader senior Golkar Jawa Barat. Ia yang dibesarkan partai beringin, justru meninggalkan kapal saat peta kekuasaan sedang berubah.

Beberapa elite Golkar di Jabar menyayangkan keputusan itu. “Ia besar dari Golkar, tapi tidak memberi warisan ideologis apa pun. Yang ditinggalkan hanya mitos Dedi dan baliho Dedi,” ujar seorang kader senior Golkar yang enggan disebutkan namanya.

Baca juga:  Arteria Dahlan Minta Kajati Dipecat Karena Berbahasa Sunda, Yana: Itu Bahasa Ibu

Berkiblat ke Gerindra: Jalan Menuju Cagub

Gabung ke Gerindra dan deklarasi sebagai calon Gubernur Jawa Barat menegaskan bahwa Dedi punya satu obsesi: kekuasaan eksekutif. Pragmatisme politiknya terbuka lebar, tak lagi ada loyalitas partai, hanya loyalitas terhadap peluang.

Ia mendapat restu dari Prabowo dan elite Gerindra Jabar, meskipun belum tentu penuh dukungan akar rumput. Dedi adalah tokoh besar dengan mesin politik personal, tapi partai tetap memegang kunci.

Gubernur Jabar: Panggung, Bukan Pemerintahan?

Sejak menjabat sebagai Gubernur Jabar (hasil Pilgub 2024), Dedi lebih sering terlihat di media sosial ketimbang di meja rapat birokrasi. Ia menyisir desa, menyantuni warga, dan menjadi “influencer” berkebijakan.

Beberapa kalangan menyebutnya sebagai “Gubernur YouTube”, lebih sibuk mengurus citra daripada reformasi struktural. Ia memang cerdas memanfaatkan era konten, tapi apakah itu cukup untuk memajukan provinsi sebesar Jawa Barat?

Media Sosial: Sumber Ketenaran, Sumber Celaan

Tidak ada kepala daerah yang begitu mendominasi media sosial seperti Dedi. Dari YouTube, TikTok, Facebook hingga Instagram, Dedi membangun narasi personal: pemimpin rakyat, spiritual, dan bijak.

Namun, justru di sinilah letak kritik terbesar. Banyak yang melihat kontennya terlalu teatrikal dan manipulatif. Beberapa kebijakan dituding hanya dekorasi citra. Tak jarang, warga yang merasa terpinggirkan menyebut Dedi sebagai “raja panggung yang miskin kebijakan.”

Oposisi dan Kritik DPRD Jawa Barat

DPRD Jawa Barat mulai menunjukkan ketegangan terhadap gaya kepemimpinan Dedi. Beberapa fraksi, termasuk PDIP dan PKS, mengkritik kebijakan pembangunan yang tidak berbasis data dan terkesan simbolik.

Baca juga:  Ketua PWI Jabar Hilman Hidayat Ajak Wartawan Cegah Hoax dalam Pemilu Damai 2024

Sejumlah aktivis menyebut Dedi “tidak punya grand design pembangunan.” Ia berjalan sendiri, menampilkan populisme gaya baru, tapi minim partisipasi publik dan evaluasi akuntabel.

Apakah Dedi Sudah Benar Menjadi Gubernur Jawa Barat?

Ini pertanyaan yang mengundang diskusi panjang. Secara elektoral, ia sah. Secara simbolik, ia mengisi ruang yang selama ini kosong: pemimpin yang hadir dan terlihat. Tapi secara struktural, keberhasilannya masih semu.

Indikator pembangunan belum menunjukkan lonjakan. Tata kelola birokrasi tak banyak berubah. Reformasi sistemik belum tampak. Maka, apakah Dedi Mulyadi sudah benar sebagai Gubernur Jabar?

Jawabannya akan tergantung pada apakah ia mampu keluar dari cangkang pencitraan dan masuk ke ruang kebijakan substantif. Bila tidak, maka ia akan dikenang sebagai gubernur yang lebih banyak tampil dalam kamera ketimbang bekerja di belakang meja.

Redaksi Porosmedia

“Jawa Barat tak butuh penceramah kebijakan, tapi pelaksana kebijakan.” – seorang aktivis muda Bandung.