Porosmedia.com, Bandung — Program revitalisasi pasar tradisional di Kota Bandung telah lama digadang sebagai proyek strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis kerakyatan. Namun, janji yang terus diulang dari era Wali Kota Dada Rosada, Ridwan Kamil, Oded M. Danial, Yana Mulyana hingga duet Plt Wali Kota Bandung Yana dan kini Wali Kota baru Farhan bersama Wakilnya Erwin, belum juga membuahkan hasil signifikan. Proyek ini seolah terjebak dalam siklus ambisi, konflik kepentingan, dan tumpang tindih kewenangan.
Dari Visi “Bandung Cerdas” hingga Janji “Revitalisasi 7 Pasar”
Sejak awal 2000-an, Pemerintah Kota Bandung mencanangkan berbagai sasaran pembangunan berbasis sektoral. Dalam dokumen rencana strategis 2004–2008, disebutkan bahwa salah satu program prioritas adalah revitalisasi 7 sentra perdagangan: Cigondewah, Cibaduyut, Cihampelas, Jalan Suci, Binong Jati, Cibuntu, dan Sukamulya. Program ini menjadi turunan dari semangat “Bandung Cerdas”, “Bandung Sehat”, “Bandung Agamis”, hingga “Bandung Berprestasi”.
Namun memasuki dekade 2010-an, fokus mulai bergeser ke revitalisasi pasar tradisional yang lebih luas. Tahun 2017, Wali Kota saat itu, Ridwan Kamil, menjanjikan revitalisasi tujuh pasar: Cihaurgeulis, Kiaracondong, Palasari, Cijerah, Jatayu, Wastukencana, dan Pasar Sederhana. Tiga di antaranya, menurutnya, akan diresmikan sebelum akhir masa jabatan. Tapi hingga kini, proyek-proyek itu sebagian besar stagnan.
Mengapa Mandek? Bedah Masalah Antara Pemkot, Perumda, dan Pedagang
Masalah utama dari revitalisasi pasar di Kota Bandung bersumber pada benturan kepentingan dan lemahnya koordinasi lintas lembaga. Setidaknya ada lima faktor utama:
1. Konflik antara pedagang dan pemerintah kota. Banyak pedagang menolak skema revitalisasi yang berbasis kerja sama dengan investor swasta karena khawatir kehilangan tempat usaha atau harus membayar sewa lebih tinggi.
2. Perumda Pasar Kota Bandung tidak maksimal. Perusahaan daerah ini kerap jadi sorotan karena kinerjanya yang dianggap tidak progresif. Rencana-rencana yang digulirkan tidak memiliki eksekusi kuat di lapangan. Banyak keputusan tersendat karena tarik ulur dengan Dishub, BPKAD, dan bahkan Dewan/DPRD.
3. Masalah status lahan. Sebagian besar pasar berdiri di atas lahan milik Pemkot, tapi pengelolaannya tidak tunggal. Sebagian dikelola oleh Perumda Pasar, sebagian tumpang tindih dengan Dinas Perhubungan (contoh: Pasar Ujung Berung yang beririsan dengan terminal).
4. Minimnya political will dan keberlanjutan program. Tiap kepala daerah memiliki prioritas sendiri. Tak ada kesinambungan kebijakan dari Dada Rosada hingga Farhan-Erwin. Perencanaan pasar lebih sering jadi proyek simbolik ketimbang agenda strategis jangka panjang.
5. Kurangnya partisipasi publik dan transparansi. Proses perencanaan banyak dilakukan secara tertutup. Konsultan perencana pasar pun sering kali tidak mengakomodasi realita lapangan dan aspirasi pedagang.
Regulasi Terbaru: Antara Peluang dan Jeratan
Pemerintah pusat telah menerbitkan Permendag No. 21 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Pasar Rakyat. Regulasi ini menekankan pentingnya perlindungan terhadap pasar rakyat sebagai penyangga ekonomi kerakyatan, serta pembatasan terhadap dominasi pasar modern.
Namun di lapangan, implementasi regulasi ini belum optimal. Di Kota Bandung, belum ada Perda yang spesifik mengatur tentang zonasi pasar modern dan pasar rakyat. Hal ini memunculkan banyak konflik, seperti munculnya minimarket modern yang berada dekat pasar tradisional, melemahkan daya saing pedagang.
Aset dan Tata Kelola: Sumber Konflik Laten
Tanah pasar di Bandung sebagian besar adalah aset Pemkot, tapi banyak pasar dikelola tanpa legalitas yang rapi. Di Pasar Ujung Berung misalnya, sebagian tanah digunakan oleh oknum pedagang liar yang justru difasilitasi oleh oknum aparat. Dishub pun terlibat karena terminal Ujung Berung berdampingan dengan pasar. Akibatnya, kewenangan bercampur, pemanfaatan lahan kacau, dan program revitalisasi sulit diwujudkan.
Masalah ini diperparah oleh nihilnya sistem digitalisasi aset. Perumda Pasar tidak memiliki basis data aset yang solid dan transparan. Tanpa sistem informasi pasar terpadu, setiap rencana revitalisasi akan selalu kandas dalam tumpang tindih administrasi dan birokrasi.
Solusi Beruntun dari Masa ke Masa: Retrospektif dan Prospek
Era Dada Rosada (2003–2013): Fokus pada penataan sentra ekonomi (Cigondewah, Cibaduyut), tapi belum menyentuh konsep revitalisasi secara komprehensif.
Era Ridwan Kamil (2013–2018): Menjanjikan revitalisasi 7 pasar besar, namun banyak hanya sebatas peletakan batu pertama. Pendekatannya lebih ke citra dan proyek estetik.
Era Oded M. Danial (2018–2021): Cenderung konservatif. Mengutamakan konsolidasi dan ketertiban pedagang, namun tak banyak proyek revitalisasi yang dimulai.
Era Yana Mulyana (2021–2023): Mulai menggulirkan kerja sama Perumda-Investor, tapi banyak penolakan dari pedagang. Proyek Jatayu dan Cijerah tak kunjung jalan.
Era Farhan–Erwin (2024–sekarang): Belum terlihat program prioritas revitalisasi pasar. Terlalu fokus pada citra kota dan penguatan event, pasar terpinggirkan dari diskursus pembangunan.
Rekomendasi Solutif
1. Audit total status aset pasar oleh BPKAD (Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah) kepada Perumda Pasar.
2. Digitalisasi tata kelola pasar rakyat berbasis GIS (Sistem Informasi Geografis) dan blockchain (Blockchain adalah teknologi yang memungkinkan pencatatan data secara desentralisasi, transparan, dan tidak dapat diubah) sederhana untuk transparansi.
3. Revisi Perda Pasar Tradisional dan Perda Zonasi Pasar Modern.
4. Konsolidasi lahan dengan Dishub dan dinas teknis lain.
5. Libatkan koperasi pedagang dan LSM dalam proses perencanaan dan implementasi.
6. Fokus pada satu pasar sebagai percontohan, misalnya Pasar Kiaracondong.
Bandung tak bisa hanya dibangun dengan trotoar indah dan taman tematik. Denyut ekonomi kerakyatan ada di pasar-pasar tradisional yang kini terlupakan. Jika Wali Kota Farhan ingin dikenang sebagai pemimpin pembaharu, maka pasar harus jadi prioritas utama, bukan sekadar catatan kaki dalam dokumen RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).