Bandung Perangi HIV dari Akar: Strategi STOP hingga Level RT/RW

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung — Dalam pertempuran panjang melawan epidemi HIV/AIDS, Kota Bandung memilih untuk tidak tinggal diam. Di tengah meningkatnya angka kasus, pemerintah kota justru memperluas medan perjuangan: bukan hanya di rumah sakit atau pusat layanan kesehatan, tapi hingga ke gang-gang sempit dan sudut-sudut RT/RW.

Pertemuan Koordinasi Penanggulangan HIV/AIDS bersama stakeholder kewilayahan yang digelar Rabu, 28 Mei 2025, di Gedung Serbaguna Balai Kota Bandung menjadi penanda kuat bahwa Kota Bandung sedang menjalankan strategi masif yang tidak biasa.

“Isu HIV bukan hanya urusan medis. Ia soal budaya, soal perilaku, soal stigma, dan soal keadilan,” tegas Maia Ferasani, Kepala Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung, yang kini menjadikan sinergi kewilayahan sebagai ujung tombak strategi mereka.

Membaca Angka, Menyadari Nyawa

Kota Bandung mencatat 9.784 kasus HIV hingga 2025, dengan 6.370 di antaranya merupakan kasus baru yang telah tertangani. Tapi angka tidak pernah hanya sekadar statistik. Di balik tiap digit, ada manusia yang rentan, sistem yang belum tanggap, dan stigma yang membungkam.

Baca juga:  Aslinya fredi giman .. gigi mancung

Maia mengingatkan bahwa HIV kerap berkelindan dengan isu-isu kesehatan lain seperti stunting, gizi buruk, hingga perilaku seksual berisiko. Maka, pendekatannya tak bisa sektoral. Harus holistik. Harus lintas batas.

Strategi STOP: Mencegah dari Hulu, Merawat sampai Hilir

KPA Kota Bandung mengadopsi dan memodifikasi pendekatan STOP menjadi strategi komunitas yang berbasis wilayah. Empat pilar utama dijalankan secara sinergis:

SULUH: Kampanye penyuluhan yang tidak elitis. Sasarannya bukan hanya sekolah dan kantor, tapi juga pengajian, karang taruna, dan PKK. Informasi ditransmisikan dalam bahasa yang bisa dipahami dan diterima warga.

TEMUKAN: Pemeriksaan HIV diperluas hingga tingkat puskesmas kelurahan. Deteksi dini menjadi alat melawan kebisuan dan ketakutan.

OBATI: Pasien yang terdiagnosis segera mendapat terapi ARV (Antiretroviral). Bukan sekadar memberi obat, tetapi memberi harapan hidup yang layak.

PERTAHANKAN: Membangun jejaring sosial dan lingkungan pendukung yang bebas stigma. Karena pengobatan seumur hidup hanya mungkin dilakukan jika masyarakat ikut menjaga mereka yang mengidap.

Dari Pemerintah ke Rakyat, dari Rakyat untuk Sesama

Baca juga:  Istri Muda Raja Cirebon Kabur dengan Raja Sumedang 

Dalam forum koordinasi yang dihadiri dua narasumber kunci—Muftiah Yulismi dari Biro Kesra Provinsi Jawa Barat dan Dadang Iradi dari KPA Jawa Barat—tergambar dengan jelas bahwa penanggulangan HIV kini diarahkan menjadi gerakan sosial, bukan sekadar program dinas.

“Kami sedang membangun ekosistem kesadaran,” ujar Maia, “karena kalau masyarakat masih takut, maka ODHIV akan terus sembunyi. Dan ketika mereka sembunyi, HIV akan terus menyebar.”

Dengan kolaborasi aktif di tingkat kelurahan dan kecamatan, Bandung ingin memastikan tidak ada satu pun warga yang kehilangan hak atas informasi, pengobatan, dan perlindungan.

Bandung Tanpa Diskriminasi: Impian yang Harus Dirawat

Menjadikan Bandung sebagai kota yang sehat, inklusif, dan bebas stigma bukan pekerjaan semalam. Tapi jika setiap RT mulai menyuluh, setiap RW membuka ruang dialog, dan setiap warga belajar memahami bahwa ODHIV adalah sesama manusia yang perlu ditemani, maka harapan itu tidak mustahil.

Karena di balik pertempuran panjang melawan HIV/AIDS, yang paling menentukan bukan hanya suntikan dana atau distribusi obat, tetapi kesadaran kolektif bahwa tidak ada satu pun warga yang boleh tertinggal dalam perawatan dan penerimaan.

Baca juga:  Krisis Layanan Jantung bawaan Anak di Indonesia: IDAI ungkap Kesenjangan Struktural dan Ajukan Solusi Nyata