Porosmedia.com, Bandung – Ketimpangan yang masih menganga dalam sektor jasa keuangan, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan mengangkat sebuah wacana besar: membangun Bandung sebagai kota jasa yang tidak hanya bertumpu pada bank konvensional, melainkan juga membuka ruang tumbuh bagi koperasi, lembaga keuangan mikro, dan instrumen keuangan alternatif lainnya.
Hal ini disampaikan Farhan dalam pertemuan strategis bersama Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jawa Barat, Darwisman, pada Senin (26/5/2025), yang menjadi bagian dari agenda memperkuat ekosistem jasa keuangan non-bank di Kota Bandung.
“Bandung tak bisa hanya bertumpu pada bank. Kalau kita serius membangun kota jasa, maka industri jasa keuangan harus inklusif dan beragam. Kita dorong tumbuhnya koperasi, BPR, fintech lokal, hingga model desa keuangan,” tegas Farhan.
Statistik Inklusi Keuangan: Bukan Sekadar Angka
Farhan juga memaparkan capaian program inklusi keuangan yang telah diinisiasi melalui TPAKD (Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah), sebagai fondasi dalam membangun sistem keuangan yang menyentuh masyarakat hingga akar rumput. Di antaranya:
KEJAR (Satu Rekening Satu Pelajar): 625.777 rekening pelajar telah dibuka, menciptakan generasi baru yang akrab dengan literasi finansial sejak dini.
Buruan SAE: 475 kelompok aktif dengan edukasi keuangan yang menyasar komunitas urban farming, menunjukkan bahwa keuangan bisa bersinergi dengan ketahanan pangan.
Kredit Usaha Rakyat (KUR): 24.828 rekening aktif, dengan pembiayaan menyentuh Rp1,6 triliun.
Bandung Melawan Rentenir: 14 kampung dinyatakan bersih dari jerat rentenir, dengan lebih dari 2.000 aduan yang ditindaklanjuti oleh Satgas Anti Rentenir.
SALAPAK: Pelatihan dan edukasi keuangan UMKM yang fokus pada pemasaran dan pengelolaan keuangan berbasis digital.
Bank Sampah Kang Pisman: 306 bank sampah aktif, yang bukan hanya mengelola sampah, tetapi juga menciptakan 5.321 rekening tabungan non-emas—cikal bakal inklusi keuangan hijau.
“Kita ingin semua warga punya akses. Tak cukup hanya menabung di bank. Mereka butuh pilihan. Butuh koperasi kuat, pembiayaan mikro, asuransi rakyat, dan pasar modal lokal,” tambah Farhan.
Desentralisasi Keuangan dan Desa Finansial
Wali Kota Farhan menyebut pentingnya menciptakan “desa keuangan” di setiap kecamatan—konsep yang menggabungkan literasi, akses, dan partisipasi warga terhadap produk keuangan yang terjangkau dan relevan.
“Kalau kita berhasil, kita bisa menciptakan kekuatan ekonomi baru. Warga tak hanya jadi objek pembangunan, tapi juga subjek ekonomi yang sadar dan berdaya secara finansial,” ungkapnya.
OJK Siap Dukung Ekosistem Non-Bank
Darwisman, Kepala OJK Jawa Barat, merespons positif arah kebijakan inklusi keuangan Kota Bandung. Ia mengusulkan perluasan program KEJAR ke seluruh sekolah secara sistemik dan menyatakan siap mendorong berbagai instrumen pembiayaan seperti pasar modal, asuransi mikro, obligasi daerah, serta menjajaki UMKM untuk go public.
“Kami ingin Bandung jadi etalase inklusi keuangan Indonesia. Tak hanya punya bank besar, tapi juga pasar modal lokal, koperasi yang tangguh, dan lembaga keuangan mikro yang adaptif,” kata Darwisman.
OJK juga menyatakan akan mendukung penuh penguatan lembaga seperti Koperasi Merah Putih, pengembangan BPR dan BPRS berbasis komunitas, serta perluasan literasi dan capacity building untuk UMKM dan komunitas urban.
Bandung Menuju Kota Keuangan Rakyat
Apa yang digagas Farhan dan OJK bukanlah mimpi kosong. Ini adalah jalan panjang menuju kota yang menjadikan jasa keuangan sebagai hak warga, bukan hanya milik elite. Kota yang tidak lagi membiarkan warga kecil terjerat rentenir karena tak punya akses ke lembaga pembiayaan yang ramah.
Dan di tengah krisis ekonomi global yang semakin kompleks, Bandung justru menjawabnya dengan revolusi dari bawah—dari tabungan pelajar hingga koperasi lingkungan.
Dari Bandung, ekosistem keuangan baru sedang dibangun. Bukan dari menara gading, tapi dari kampung, sekolah, pasar, dan komunitas. Kota ini tengah menunjukkan, bahwa ekonomi inklusif bukan hanya jargon, tapi agenda nyata.