Porosmedia.com – Di Jawa Barat, urusan pertambangan bukan sekadar soal izin dan alat berat. Ia adalah persimpangan antara tata ruang, kekuasaan, keselamatan warga, dan dapur ribuan keluarga yang hidup dari batu, pasir, dan tanah. Ketika kerusakan lingkungan makin menganga dan PETI (Pertambangan Tanpa Izin) tumbuh seperti jamur setelah hujan, pemerintah tidak punya kemewahan untuk menunda. Tetapi penertiban yang dilakukan tanpa membangun jaring pengaman sosial yang memadai hanya akan memindahkan masalah dari gunung yang rusak ke perkampungan yang krisis pekerjaan.
Dengan kata lain: pemerintah wajib tegas, namun tidak boleh abai terhadap korban kebijakan.
1. Regulasi Ada, Tapi Implementasi Masih Bolong-Bolong
Perda Jabar No. 2/2017 dan UU Minerba sebenarnya sudah memberikan fondasi kuat untuk tata kelola pertambangan yang tertib. Tapi kekuatan regulasi sering berhenti di atas kertas ketika: pengawasan lapangan minim, koordinasi lintas instansi tidak padu, dan perusahaan yang melanggar hanya diberi sanksi administratif yang tidak menimbulkan efek jera.
Masalah terbesar bukan ketiadaan aturan. Masalahnya adalah konsistensi dalam menjalankan aturan yang sudah jelas.
2. Kewenangan Pemprov Besar, Tetapi Tanggung Jawabnya Lebih Besar
Pemprov Jabar memiliki kewenangan penuh dalam WIUP, IUP, WPR, hingga IPR. Posisi ini strategis, tetapi juga rawan dikritik ketika: Penetapan WPR berjalan sangat lambat. Pengendalian lapangan tidak sebanding dengan eskalasi tambang ilegal. Bahkan, kerap terjadi tumpang tindih lahan antara masyarakat, perusahaan, dan kawasan lindung.
Ketika negara lambat menyediakan legalitas, masyarakat akan mencari jalan sendiri. Dari situlah PETI muncul—bukan semata karena niat melanggar hukum, tetapi karena kebutuhan hidup tidak menunggu keputusan administratif yang bertahun-tahun.
3. Persyaratan IUP: Ketat bagi Pengusaha, Mustahil bagi Rakyat
IUP semestinya memang berstandar tinggi karena risikonya besar. Namun yang menjadi persoalan adalah: Perusahaan besar dengan modal kuat mudah memenuhi persyaratan. Penambang rakyat justru tersisih karena birokrasi dan pembiayaan yang tidak terjangkau.
Akibatnya, sektor rakyat tersingkir dari proses legalisasi dan hanya menjadi bayang-bayang dari industri tambang formal. Ini adalah ketimpangan struktural yang tidak diselesaikan bertahun-tahun.
4. PETI: Gejala dari Negara yang Tidak Hadir, Bukan Sekadar Pelanggaran
Ketika pemerintah menyebut PETI sebagai masalah besar, publik punya hak untuk bertanya balik: Mengapa daerah yang menjadi titik PETI dibiarkan bertahun-tahun tanpa solusi legal dan ekonomi yang konkret?
PETI memang merusak lingkungan. PETI memang mengancam keselamatan warga. Namun PETI juga adalah: sumber nafkah, respons spontan terhadap kondisi ekonomi desa, dan bukti bahwa tata kelola legal tidak menjangkau akar rumput.
Menertibkan PETI tanpa memperbaiki akar persoalan hanya akan melahirkan PETI-PETI baru di tempat lain.
5. Pencabutan Izin: Langkah Berani, Tapi Harus Diiringi Transisi Ekonomi
Kebijakan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi menutup dan mencabut sejumlah izin tambang adalah langkah tegas yang layak diapresiasi. Tetapi langkah tegas ini membawa konsekuensi: ribuan pekerja kehilangan pendapatan harian, desa-desa tambang kehilangan sumber ekonomi utama, dan muncul tekanan sosial yang tidak bisa disapu dengan imbauan moral.
Kompensasi Rp 9 juta dan program alih profesi adalah langkah awal, tetapi belum cukup untuk menggantikan pendapatan yang selama ini bergantung pada tambang.
Transisi ekonomi tidak bisa hanya berbentuk pelatihan formal. Ia membutuhkan program jangka panjang yang benar-benar menyasar akar persoalan: minimnya lapangan kerja.
6. Ketika Perusahaan Nakal dan PETI Sama-sama Ditindak
Ini poin penting: Tambang ilegal memang ditutup total. Namun perusahaan berizin yang melanggar juga harus diperlakukan sama keras.
Konsistensi inilah yang sering menjadi pertanyaan publik. Kasus di Gunung Kuda dan Parungpanjang membuktikan: izin bisa dicabut permanen, operasi bisa dihentikan, dan pemerintah bisa bertindak tegas ketika aspek keselamatan dan lingkungan diabaikan.
Namun publik menunggu satu hal:
penegakan hukum yang benar-benar merata tanpa pandang bulu.
7. Penambang Rakyat: Tertibkan, Tapi Juga Legalkan
Penambang rakyat bukan musuh negara. Mereka adalah warga yang ingin hidup. Oleh karena itu: percepatan penetapan WPR harus menjadi prioritas, IPR harus disederhanakan tanpa mengurangi standar keselamatan, pendampingan teknis harus didorong, bukan sekadar diseminasi formalitas.
Jika negara hanya hadir sebagai penindak, bukan pembina, maka konflik antara masyarakat dan negara hanya akan membesar.
Pertambangan Jabar Memerlukan Jalan Tengah yang Berkeadilan. Karena itu, Jawa Barat membutuhkan tata kelola tambang yang tegas, manusiawi, dan berkelanjutan. Penertiban PETI memang wajib, tetapi harus diiringi: percepatan WPR, penyederhanaan IPR, pengawasan perusahaan legal, dan program ekonomi alternatif yang nyata bagi pekerja terdampak.
Tanpa itu semua, kebijakan penertiban hanya menjadi operasi rutin yang menyelesaikan masalah di permukaan, tetapi meninggalkan luka sosial di bawahnya.
Pemerintah boleh tegas, tetapi keadilan tidak boleh menjadi korban dari ketegasan itu.
Oleh : R. Yadi Suryadi – Ketua DPD Jawa Barat Serikat Buruh Nasionalis Indonesia







