
Porosmedia.com — Di mata banyak orang, dunia Arab identik dengan simbol religius, kota suci, dan kemewahan. Namun di balik simbol-simbol tersebut, terdapat sebuah ironi yang jarang dibicarakan secara jujur: negara-negara yang kaya minyak justru tampak miskin dalam praktik kemanusiaan. Pertanyaannya, apakah benar kemuliaan spiritual bisa diwakili oleh tanah yang subur secara ekonomi, namun kering dalam nilai-nilai keadilan sosial?
Simbol vs Substansi
Seringkali kita terkecoh oleh simbol. Kemegahan arsitektur, menara masjid berlapis emas, hingga pencitraan religius di media global, membuat banyak orang memuja Timur Tengah tanpa menyentuh esensi: apakah kemakmuran itu dibarengi dengan kemanusiaan?
Kemuliaan bukan dilihat dari seberapa suci label yang disematkan, tapi dari seberapa besar keadilan yang ditegakkan dan kebaikan yang ditebarkan. Tanah yang disebut “suci” pun, jika tidak menjunjung keadilan, hanya menjadi simbol kosong.
Ketergantungan Teknologi: Kaya Tapi Tak Mandiri
Kekayaan minyak belum tentu mencerminkan kemandirian. Negara-negara Arab, meskipun kaya, sangat bergantung pada teknologi asing. Berikut contohnya:
Kilang Minyak: Teknologi dari Amerika, Jepang, dan Eropa.
Gedung Pencakar Langit: Dibangun oleh insinyur Korea dan buruh migran dari Asia Selatan.
Produk Sehari-hari: Mobil, senjata militer, alat komunikasi, hingga teknologi digital, semua berasal dari luar.
Bahkan Peralatan Ibadah Pun Impor: Sajadah buatan Turki atau China, mukena dari Indonesia, hingga botol air zamzam yang dikemas menggunakan mesin buatan Barat.
Jadi, dari hulu ke hilir, hampir tak ada jejak produksi asli. Mereka mungkin bisa membeli segalanya, tapi tidak bisa menciptakan segalanya.
Wajah Kelam di Balik Kemewahan
Kemewahan yang dipertontonkan sering kali menutupi realita sosial yang menyakitkan. Ada tiga masalah utama yang jarang diangkat:
1. Eksploitasi Pekerja Migran
Buruh migran dari Asia dan Afrika bekerja di tengah panas gurun dengan jam kerja panjang, upah tak menentu, dan perlindungan hukum yang lemah. Banyak yang mengalami pelecehan, kehilangan hak sipil, bahkan tak bisa pulang karena paspor ditahan majikan.
2. Ketidakadilan Hukum
Hukum tak ditegakkan secara adil. Jika pelaku adalah warga lokal, hukum bisa longgar. Namun ketika korban adalah pekerja asing, proses hukum sering lambat, bias, atau bahkan diabaikan.
3. Rasisme Struktural
Warna kulit dan kebangsaan masih menjadi tolok ukur kelas sosial. Orang Arab dianggap “kelas atas”, sedangkan warga Asia Selatan atau Afrika dianggap kelas pekerja yang bisa diperlakukan semena-mena.
Apakah ini wajah dari tanah yang diklaim sebagai pusat peradaban Islam?
Kritik terhadap Fanatisme Geografis
Menganggap sebuah bangsa lebih mulia karena lokasinya adalah bentuk fanatisme geografis yang harus dilawan. Tuhan tidak memuliakan manusia karena tanah kelahirannya, tapi karena akhlak dan amalnya.
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)_
Namun takwa tidak hanya ritual. Takwa adalah keberanian bersikap adil, keikhlasan memberi, dan konsistensi membela yang tertindas.
Label “Tanah Suci” tidak otomatis menjadikan semua yang tinggal di atasnya suci. Mekkah dan Madinah memang kota suci, tapi bukan berarti seluruh wilayah Arab serta-merta mendapat status suci secara moral dan sosial.
Tuhan Tidak Pilih Kasih
Tuhan tidak berpihak pada bangsa tertentu. Kemuliaan di hadapan Tuhan bukan ditentukan oleh seberapa banyak masjid yang dibangun, tapi oleh seberapa besar keadilan yang ditegakkan.
> Tuhan tidak pilih kasih. Yang dimuliakan bukan yang duduk di atas ladang minyak, tapi yang berdiri di atas prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Penutup: Mari Kembali ke Akar Nilai
Tulisan ini bukan ajakan untuk membenci, tapi ajakan untuk berpikir jernih dan kritis. Kemuliaan sejati tidak datang dari simbol. Ia lahir dari keadilan, akhlak, dan keberpihakan pada kebenaran. Dunia Arab bisa tetap menjadi kiblat spiritual — tapi hanya jika ia berani mereformasi diri dan menegakkan nilai-nilai universal yang dijunjung oleh agama yang mereka banggakan.
Jika kamu percaya bahwa kemuliaan itu lahir dari perbuatan, bukan dari lokasi geografis atau simbol.
Ir.Ayi Koswara
CEO FLEXlive | Inisiator Balanced Path Academy