“Jika argumen logis membuatmu marah, maka masalahnya bukan pada argumennya, tapi pada egomu.”
— Carl Sagan
Porosmedia.com – Kalimat ini terdengar sederhana, tapi menghantam tepat di inti persoalan manusia modern: ego yang menyamar sebagai kebenaran. Kita sering mengira sedang mempertahankan prinsip atau fakta, padahal diam-diam yang kita lindungi adalah harga diri—yang enggan mengakui kesalahan.
Carl Sagan, dengan kejernihan seorang ilmuwan sekaligus kebijaksanaan seorang filsuf, mengajak kita merenung: mengapa logika memancing kemarahan? Mengapa argumen yang masuk akal justru ditolak dengan emosi? Jawabannya bukan soal validitas, tapi soal kerapuhan batin kita sendiri.
Stoikisme dan Musuh dari Dalam
Dalam ajaran Stoikisme, ego adalah bentuk ilusi—dan kemarahan adalah gejala dari ego yang terluka. Marcus Aurelius menulis:
“Jika seseorang bersalah, ajari dia dengan lembut. Jika dia tidak bersalah, mengapa marah?”
Logika dan emosi memang dua medan yang sering bertabrakan. Tapi kebenaran sejati hanya lahir dari akal yang jernih, bukan dari suara hati yang penuh dendam atau gengsi. Mereka yang tersinggung oleh logika, sesungguhnya bukan mencari kebenaran, melainkan mempertahankan citra diri.
Kalah dalam Debat, Menang dalam Pemahaman
Filsuf sejati tak takut terbukti salah. Bagi mereka, kesalahan bukan aib, tapi petunjuk. Kekalahan dalam debat adalah kemenangan dalam pencarian makna. Yang perlu ditakuti bukanlah lawan bicara yang lebih cerdas, tetapi diri sendiri yang terlalu sombong untuk belajar.
Motivasi Hari Ini:
“Biarkan egomu dilukai oleh kebenaran,
daripada hidup nyaman dalam kebohongan”.
Refleksi Diri | Pencarian Kebenaran | Logika dan Emosi | Kendalikan Ego | Belajar dari Kesalahan | Filosofi Kehidupan
Redaksi Porosmedia