Analisis Khusus| Pemakjulan Wapres Gibran: Konstitusi, Konflik dan Kalkulasi Politik 

Avatar photo

Catatan M. Hatta Taliwang

Porosmedia.com — Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali menggema setelah Forum Purnawirawan Prajurit TNI menyuarakan desakan agar DPR memprosesnya secara konstitusional. Namun, apakah desakan itu memiliki dasar hukum yang kuat? Apakah pemakzulan Gibran dapat menembus palang pintu konstitusi yang kompleks, politis, dan pragmatis?

Dasar Hukum Pemakzulan Menurut UUD 1945

Pasal 7A dan 7B UUD 1945 pasca amandemen mengatur bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR apabila terbukti melakukan:

1. Pengkhianatan terhadap negara;

2. Korupsi;

3. Penyuapan;

4. Tindak pidana berat lainnya;

5. Perbuatan tercela;

6. Atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden.

Proses ini harus melalui verifikasi DPR, uji hukum oleh Mahkamah Konstitusi (MK), lalu diputuskan dalam Sidang Paripurna MPR.

Tudingan: Korupsi dan Perbuatan Tercela

Munarman, S.H., M.H., menggarisbawahi pentingnya DPR menjabarkan pelanggaran hukum secara spesifik. Salah satu referensi adalah laporan aktivis Ubedilah Badrun ke KPK terkait dugaan korupsi Gibran semasa menjabat Wali Kota Solo. Namun hingga kini belum ada tindak lanjut signifikan dari KPK.

Baca juga:  Wapres Nilai 27 Polres Terus Lakukan Transformasi

Tudingan lain yang beredar di ruang publik termasuk isu penyalahgunaan narkoba, pemalsuan ijazah, dan ketidaksesuaian data pendidikan. Gibran sendiri disebut hanya memiliki surat keterangan dari Sesditjen Dikti, bukan ijazah formal universitas. Namun, semua itu tetap memerlukan pembuktian hukum, bukan sekadar asumsi politik atau kampanye viral.

Prosedur Berliku dan Tantangan Politis

1. DPR: Arena Pertarungan Pragmatis

Proses pertama dimulai di DPR. Dalam iklim politik saat ini, keputusan sangat bergantung pada fraksi mayoritas, relasi kuasa, dan bahkan — secara sinis — logika NPWP: “Nomor Piro, Wani Piro.” Artinya, lobi dan transaksi politik menjadi keniscayaan. Pemakzulan bisa mentok sebelum jalan, jika dukungan politik tidak terbentuk.

2. MK: Arena Uji Konstitusionalitas

Jika DPR menyetujui, berkas diteruskan ke MK. Sebanyak delapan hakim (minus Anwar Usman yang merupakan paman Gibran) akan menguji legalitas pelanggaran. Tapi, di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap independensi MK pasca putusan kontroversial batas usia capres, akankah publik percaya pada objektivitas proses ini?

Baca juga:  Bahasa Indonesia Diakui sebagai Bahasa Resmi UNESCO: Tonggak Sejarah Baru Diplomasi Budaya Indonesia

3. MPR: Medan Terakhir yang Sarat Tawar-Menawar

Putusan MK harus ditindaklanjuti MPR. Namun, komposisi MPR yang bercorak partai dan DPD menuntut kerja politik ekstra. Pemakzulan bisa runtuh jika dinamika lobi dan kepentingan elit tidak sepakat. Apalagi, ini adalah preseden pertama dalam sejarah politik Indonesia pasca reformasi.

Gerakan Massa: Di Mana “Sutradara”-nya?

Dalam sejarah politik Indonesia, pemakzulan selalu diiringi tekanan rakyat. Jatuhnya Soeharto, peralihan Habibie ke Gus Dur, hingga pemakzulan Gus Dur — semuanya diwarnai aksi massa. Tapi kini, siapa yang bisa menggerakkan massa sebesar itu di era digital tanpa “sutradara” berpengaruh?

Tak ada lagi jenderal kuat atau tokoh karismatik yang mengorkestrasi mobilisasi publik. Gerakan moral pun terpecah antara aktivisme organik dan noise medsos yang cepat padam.

Risiko Gagal: Gibran Justru Untung?

Jika pemakzulan gagal, justru Gibran bisa memanen simpati. Isu-isu negatif yang tak terbukti secara hukum hanya akan menguatkan posisi politiknya. Publisitas negatif bisa menjadi panggung — menghidupkan kembali nama yang mulai meredup.

Baca juga:  Menghilangkan Nyawa Lewat Racun di Air Kopi

Dalam teori komunikasi: “Bad publicity is still publicity.” Maka, alih-alih meruntuhkan legitimasi Gibran, wacana ini bisa menjadi bagian tak sengaja dari kampanye jangka panjang menuju Pilpres 2029. Terlebih jika didukung logistik kuat dan popularitas sang ayah, Jokowi, yang ikut terdongkrak oleh kontroversi ijazah palsu.

Kesimpulan: Pemakzulan Gibran, Sekadar Retorika atau Gerakan Serius?

Wacana pemakzulan terhadap Gibran adalah peristiwa yang memadukan unsur hukum, politik, komunikasi, dan kalkulasi pragmatis. Tanpa bukti hukum kuat dan dukungan politik solid, pemakzulan hanya menjadi retorika moral belaka.

Dan jika gagal, sejarah bisa berbalik. Gibran akan menjelma sebagai simbol ketangguhan menghadapi badai tuduhan, sekaligus kandidat potensial Pilpres 2029. Sebuah dinamika yang — suka atau tidak — sedang terjadi di hadapan kita.

MHT, 4 Juni 2025|