Porosmedia.com – Gelombang kebijakan yang muncul hari ini menunjukkan satu pola yang cukup jelas: pemerintah bergerak cepat, sangat cepat, dalam mendorong agenda pembangunan. Namun kecepatan itu tidak selalu berjalan sejajar dengan kesiapan sistem, tata kelola, maupun kepastian regulasinya. Inilah yang perlu mendapat perhatian publik.
1. Pembangunan 66 Rumah Sakit Baru: Ambisi Besar, Tantangan Tidak Kecil
Instruksi Presiden Prabowo kepada Menteri Kesehatan untuk membangun 66 rumah sakit baru yang canggih adalah langkah ambisius yang tentu patut diapresiasi. Terlebih, keberadaan RS Kardiologi Emirates–Indonesia (RS KEI) di Solo — yang disebut memiliki peralatan jantung tercanggih — memberikan gambaran standar mutu yang ingin dicapai pemerintah.
Namun, pembangunan fisik hanyalah satu sisi persoalan. Rumah sakit modern menuntut SDM kesehatan yang kompeten, pembiayaan berkelanjutan, manajemen yang transparan, dan distribusi layanan yang merata. Tanpa itu semua, risiko yang muncul bukan hanya ketimpangan layanan, tetapi juga fasilitas yang megah namun tidak optimal.
Kebijakan pembangunan RS canggih perlu memastikan satu hal: publik harus menjadi penerima manfaat utama, bukan sekadar penonton dari proyek-proyek berskala besar.
2. Program Makan Bergizi Gratis: Tata Kelola Harus Tetap Diawasi Publik
Pernyataan Badan Gizi Nasional (BGN) yang menegaskan mustahilnya penyelewengan dana dalam Program Makan Bergizi Gratis patut dicermati sebagai komitmen birokrasi terhadap integritas. Skema penyaluran dana yang langsung masuk ke rekening virtual dapur SPPG memang dirancang untuk meminimalkan intervensi institusi lain.
Meski demikian, pernyataan “tidak mungkin” selalu membutuhkan pembuktian melalui audit berkala, transparansi laporan, dan keterlibatan lembaga pengawas independen. Pengelolaan dana publik—apalagi dengan skala nasional—memerlukan mekanisme yang tidak hanya aman, tetapi juga dapat diverifikasi secara terbuka.
3. Ketimpangan Madrasah vs Sekolah Negeri: Tugas Negara Merapikan Keadilan Pendidikan
Sorotan Menteri Agama mengenai ketimpangan antara guru madrasah dan guru sekolah negeri adalah isu struktural yang sudah lama terjadi. Proporsi guru madrasah yang 95% berstatus swasta menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam penjaminan kesejahteraan pendidik.
Ini bukan sekadar soal anggaran atau status ASN—melainkan soal keadilan negara dalam memberikan layanan pendidikan. Di titik ini, publik berhak menuntut agar pemerintah tidak hanya memetakan masalah, tetapi juga menawarkan solusi konkret, terutama bagi madrasah yang selama ini memikul beban besar dalam pendidikan keagamaan.
EKONOMI: Antara Stabilitas Makro dan Ketidakpastian Mikro
1. Suku Bunga BI Ditahan: Sinyal Stabilitas di Tengah Ketidakpastian
Keputusan BI menahan suku bunga acuan pada 4,75% menunjukkan upaya menahan volatilitas rupiah. Penurunan suku bunga sepanjang tahun ini sebenarnya memberi ruang bagi pelaku usaha, namun pemulihan permintaan belum berjalan mulus.
Ketidakpastian arah kebijakan fiskal dan tekanan eksternal masih membuat pasar berhitung. BI telah memberi sinyal stabilitas; kini bola berada di tangan pemerintah untuk memastikan kebijakan sektoral tidak menambah kebingungan pelaku usaha.
2. Pembangunan 80 Ribu Gedung Kopdes: Antara Pemerataan dan Beban Fiskal
Pembangunan fisik Kopdes Merah Putih dalam jumlah sangat besar—80 ribu unit—mencerminkan ambisi pemerintah menguatkan ekonomi desa. Namun skala besar selalu membutuhkan pengawasan besar pula.
Transparansi anggaran, efektivitas program, kesiapan daerah, hingga akuntabilitas pelaksana harus menjadi perhatian utama. Tanpa itu, risiko pemborosan atau ketidaksesuaian kegiatan dengan kebutuhan riil masyarakat tetap ada.
3. Polemik Thrifting: Pemerintah Perlu Menghindari Kebijakan yang Tumpang Tindih
Keluhan para pedagang thrifting yang menemui DPR menunjukkan bahwa kebijakan pengetatan masih menimbulkan pertanyaan publik. Sementara pemerintah ingin melindungi industri lokal, masyarakat menyoroti banjirnya pakaian impor murah yang justru lebih masif dari produk bekas.
Kebijakan publik idealnya tidak sekadar melarang, tetapi juga mempertimbangkan ekosistem ekonomi yang telah berjalan, termasuk aspek sosial, lapangan kerja, dan kepastian hukum. Ketidaksinkronan antara regulasi dan realitas lapangan justru membuka ruang ketidakjelasan yang tidak produktif.
TRENDING: “Komdigi” dan Kritik atas Prioritas Regulasi
Ramainya perbincangan mengenai Komdigi dan kewajiban pendaftaran PSE menunjukkan keresahan publik soal prioritas kebijakan digital. Kritik warganet pada umumnya menuding adanya ketimpangan perhatian pemerintah: platform legal ditekan regulasi, sementara platform judi online masih luput dari penegakan.
Situasi ini mengingatkan bahwa kepercayaan publik terhadap negara digital bergantung pada konsistensi. Penegakan aturan harus menyentuh yang paling merugikan publik terlebih dahulu.
Ambisi Pembangunan Tidak Boleh Mengabaikan Kebutuhan Merapikan Sistem
Rangkaian kebijakan hari ini memperlihatkan dinamika yang produktif sekaligus mengandung risiko. Pemerintah menunjukkan energi besar dalam mendorong pembangunan—dari kesehatan, ekonomi desa, hingga regulasi digital. Namun energi itu harus disertai: tata kelola yang transparan, regulasi yang konsisten, pengawasan independen dan keberpihakan nyata pada kepentingan publik.
Ambisi pembangunan boleh besar. Tetapi tanpa rambu hukum dan manajemen yang rapi, kebijakan hanya akan tampak spektakuler di permukaan, sementara dampak bagi rakyat masih jauh dari harapan.







