Ada Apa dengan Bonus Panas Bumi Wayang Windu? Desa Girimulya Tersisih dari Daftar Penerima Meski Masuk Zona 2

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Distribusi Bonus Produksi Panas Bumi (BPPB) Wayang Windu Tahun Anggaran 2024 kembali memunculkan polemik. Desa Girimulya, Kecamatan Pacet, yang secara normatif masuk Zona 2 dalam Peraturan Bupati Bandung Nomor 57 Tahun 2022, justru tidak tercatat sebagai desa penerima dana bonus tersebut.

Fakta ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai mekanisme validasi dan sinkronisasi kebijakan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bandung.

Regulasi Tegas: Girimulya Berhak sebagai Penerima

Perbup 57/2022 menyebutkan bahwa Zona 2 meliputi desa yang berbatasan langsung dengan lokasi kegiatan penguasaan panas bumi. Berdasarkan peta resmi WKP PLTP Wayang Windu, Desa Girimulya berbatasan dengan Desa Margamukti, yang menjadi lokasi utama eksplorasi dan operasi panas bumi.

Artinya, secara regulatif, Girimulya memenuhi seluruh indikator zonasi untuk menerima Dana Bagi Hasil (DBH) bonus panas bumi.

Namun di Lapangan, Desa Ini Tidak Masuk Daftar

Daftar penerima BPPB yang dirilis Pemkab Bandung tidak memuat Girimulya. Ketidaksesuaian antara aturan tertulis, peta zonasi, dan hasil final daftar penerima membuka ruang dugaan adanya: kekeliruan verifikasi internal, perbedaan acuan teknis antar-perangkat daerah atau adanya perubahan kriteria yang tidak disosialisasikan kepada publik maupun pemerintah desa.

Baca juga:  Kejati Sumel Kembali Tetapkan Seorang Tersangka Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pembangunan LRT

Situasi ini perlu dibuka secara transparan agar tidak menimbulkan persepsi ketidakadilan distribusi anggaran, terutama bagi desa yang berada di lingkar terdampak eksplorasi energi.

Dampaknya: Potensi Hilangnya Manfaat Publik

Bonus Produksi Panas Bumi bukan sekadar angka di atas kertas. Dana ini bersifat strategis dan dapat memperkuat: infrastruktur dasar desa, layanan pendidikan dan kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta peningkatan kualitas pelayanan publik.

Dengan tidak masuknya Girimulya dalam daftar penerima, desa tersebut berpotensi kehilangan manfaat signifikan yang semestinya dapat meningkatkan kesejahteraan warganya.

Pemerhati kebijakan menilai persoalan ini bukan sekadar administrasi, tetapi menyangkut keadilan fiskal dan akuntabilitas kebijakan energi daerah.

Pemkab Bandung Perlu Menjelaskan Dasar Penghitungan

Untuk menjaga transparansi, Pemkab Bandung diharapkan memberikan penjelasan mengenai: 1. Dasar teknis yang digunakan dalam penetapan daftar penerima, 2. Validasi peta zonasi terhadap WKP Wayang Windu, 3. Potensi adanya desa yang secara regulatif berhak, namun tidak masuk daftar final.

Keterbukaan informasi ini penting agar distribusi DBH panas bumi tetap berada dalam koridor aturan dan tidak menimbulkan kecurigaan publik.

Energi Desa dan Strategi Nasional: Jangan Terjebak Teknologi Mahal Tanpa Kemandirian

Baca juga:  Forkopimda Berkomitmen Kawal Pesta Demokrasi Kondusif

Di tengah polemik zonasi panas bumi, muncul kembali pertanyaan besar terkait arah kebijakan energi nasional. Indonesia sedang berada dalam kompetisi global yang menentukan masa depan energi. Sayangnya, sebagian program elektrifikasi desa masih mengandalkan teknologi mahal yang menciptakan ketergantungan jangka panjang.

PLTS Off-Grid: Mahal, Bergantung Impor, dan Tidak Membangun Kapasitas Desa

Di atas kertas, PLTS off-grid tampak sebagai solusi instan. Namun realitas menunjukkan hal berbeda. Untuk menghasilkan listrik 20 kW selama 24 jam, dibutuhkan: lebih dari 110 kWp panel surya, baterai 350 kWh yang harus diganti setiap 7–8 tahun, inverter dan komponen impor lainnya.

Total investasi mencapai Rp 3,5–3,7 miliar per desa, dengan biaya listrik Rp 3.000–3.500/kWh. Hampir seluruh teknologinya impor, tidak menciptakan nilai tambah bagi ekonomi lokal.

Setiap gigawatt PLTS tanpa industri modul, wafer, inverter, dan baterai nasional pada dasarnya adalah proyek yang memperkaya negara lain, bukan rakyat desa.

ABiomassa Desa: Model Energi Rakyat yang Teruji

Berbeda dengan PLTS impor, pembangkit biomassa skala desa sudah terbukti berjalan efektif, seperti di Kundur, Riau, yang menyalakan listrik 24 jam dan sekaligus menciptakan pendapatan bagi warga.

Baca juga:  Tumpukan Sampah di TPS Gunung Batu Timur Tuntas Dibersihkan, Aparat Kelurahan Sukaraja Minta Warga Disiplin Pilah Sampah

Biaya listriknya hanya Rp 1.300–1.500/kWh, dan hampir seluruh teknologinya bisa diproduksi oleh industri nasional.

Dengan tiga hektare kebun energi untuk setiap 100 keluarga, desa-desa mampu menggerakkan pembangkit 20 kW berbahan biomassa lokal—menghasilkan listrik sekaligus menghidupkan ekonomi.

Ini bukan konsep, bukan wacana—ini model ekonomi energi berbasis desa yang telah menunjukkan dampak nyata.

Saatnya Kebijakan Energi Berpihak pada Rakyat dan Berdiri di Atas Kemandirian

Indonesia tidak boleh lagi menjadi pasar bagi teknologi mahal tanpa transfer teknologi. Energi nasional harus tumbuh dari desa, dari biomassa, dan dari industri teknologi lokal.

Di tengah tekanan fiskal, arah kebijakan energi harus mengutamakan: efisiensi, kedaulatan teknologi dan pemberdayaan ekonomi rakyat.

Pengelolaan bonus panas bumi dan strategi elektrifikasi desa memerlukan konsistensi yang sama: akurat secara data, tepat sasaran, dan mendukung kemandirian.

Selama regulasi dan peta zonasi masih menunjukkan Girimulya berada di Zona 2, desa tersebut tetap memiliki dasar kuat untuk mempertanyakan haknya. Porosmedia.com akan terus mengikuti perkembangan dan menunggu klarifikasi resmi dari Pemkab Bandung.