Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Penyaluran Bansos: 5 Strategi Utama

Avatar photo

Oleh: R. Wempy Syamkarya, SH., M.M. — Pengamat Kebijakan Publik dan Politik

Porosmedia.com – Program Bantuan Sosial (Bansos) sejatinya dirancang sebagai instrumen negara untuk mengangkat harkat hidup warga yang benar-benar membutuhkan. Namun, praktik di lapangan memperlihatkan realitas yang jauh dari cita-cita tersebut. Tidak sedikit warga miskin yang justru terpinggirkan, sementara mereka yang secara ekonomi mampu justru menikmati fasilitas negara. Fenomena ini bukan sekadar potret ketimpangan, tetapi juga kegagalan tata kelola yang mengancam legitimasi kebijakan publik.

Faktor penyebabnya beragam—mulai dari ketidakakuratan data, proses seleksi yang tertutup, penyimpangan administrasi, penyelewengan kewenangan, hingga intervensi politik menjelang momentum elektoral. Semua ini membentuk lingkaran masalah yang membuat distribusi Bansos kerap “salah alamat”.

Demi memastikan bahwa Bansos benar-benar sampai kepada masyarakat yang berhak, negara perlu melakukan pembaruan menyeluruh terhadap sistem penyaluran, pengawasan, dan evaluasi kebijakan.

Berikut analisa dan lima strategi utama yang dapat menjadi pilar reformasi Bansos.

A. Akar Permasalahan: Mengapa Bansos Tidak Tepat Sasaran?

1. Data Tidak Akurat Basis Data Terpadu (BDT) atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sering kali tidak diperbarui, menyebabkan penerima tidak sesuai dengan kondisi riil masyarakat.

2. Proses Seleksi Tidak Transparan Minimnya keterbukaan dalam proses verifikasi membuka ruang manipulasi dan penyalahgunaan kewenangan di tingkat lokal.

3. Penyimpangan dan Korupsi Celah administrasi, lemahnya audit, dan rendahnya kualitas pengawasan membuat penyaluran Bansos rentan diselewengkan.

Baca juga:  Habema bagikan Sembako untuk warga Dekai

4. Intervensi Politik Penyaluran bantuan yang seharusnya bebas kepentingan sering kali dibajak menjadi alat konsolidasi dukungan politik.

Permasalahan ini menuntut negara memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan integritas pengelolaan Bansos.

B. Lima Prinsip Dasar Kebijakan Tepat Sasaran

1. Kriteria Penerima yang Jelas dan Objektif
Parameter kemiskinan harus ditentukan berdasarkan indikator kuantitatif dan verifikasi faktual—bukan kedekatan personal atau kepentingan pihak tertentu.

2. Data Terbarukan dan Terverifikasi
Pemerintah wajib memperbarui DTKS secara berkala, menggunakan teknologi pendataan modern, serta melakukan verifikasi lapangan secara independen.

3. Transparansi Proses Seleksi
Setiap tahapan seleksi harus diumumkan secara terbuka—mulai dari daftar calon penerima, hasil verifikasi, hingga penetapan akhir.

4. Pengawasan Berlapis dan Independen
Selain inspektorat pemerintah, harus ada keterlibatan masyarakat sipil dan mekanisme aduan publik yang responsif.

5. Sanksi Tegas dan Terukur
Penyelewengan Bansos harus dijatuhi sanksi administratif hingga pidana sesuai aturan yang berlaku.

C. Landasan Hukum yang Relevan

Kebijakan penyaluran Bansos telah diatur dalam beberapa regulasi utama:

UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin

PP No. 39 Tahun 2012 sebagai aturan pelaksana UU 13/2011

Permensos No. 6 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyaluran Bantuan Sosial

Meski demikian, regulasi-regulasi ini harus terus disesuaikan dengan dinamika, kebutuhan daerah, dan penemuan berbagai penyimpangan di lapangan.

Baca juga:  PSI Dukung Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda: Pendidikan Berkualitas untuk Semua, Bukan Sekadar Janji Politik

D. Tujuh Gagasan Strategis Reformasi Bansos

Berikut gagasan yang lebih visioner, aplikatif, dan dapat langsung diterapkan oleh pemerintah pusat maupun daerah:

1. Sistem Informasi Terintegrasi (Single Data Welfare System)

Argumen:
Sistem data terpadu sangat menentukan akurasi penerima Bansos.

Reasoning:
Data real-time dan lintas instansi meminimalkan duplikasi dan salah sasaran.

Evidence:
Kementerian Sosial mencatat bahwa pada 2020 sekitar 30% anggaran Bansos tidak tersalurkan karena kesalahan data.

Kesimpulan:
Integrasi data akan memastikan Bansos sampai kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.

2. Kartu Keluarga Sejahtera (Welfare Family Card)

Argumen:
Kartu ini menjadi instrumen kendali sosial dan ekonomi keluarga secara mandiri.

Reasoning:
Dengan catatan pengeluaran dan status ekonomi keluarga yang tercatat digital, pemerintah dapat menentukan bantuan secara objektif.

Evidence:
Menurut Bank Dunia (2019), 70% keluarga miskin belum terakses program bantuan, salah satunya karena tidak terdata.

Kesimpulan:
Kartu Keluarga Sejahtera akan meningkatkan akuntabilitas keluarga dan mempercepat verifikasi penerima.

3. Sistem Penilaian Kemiskinan yang Objektif

Penilaian berbasis indikator kuantitatif—pendapatan, kondisi rumah, aset produktif, dan beban keluarga—harus dilakukan oleh tim independen untuk menghindari subjektivitas.

4. Partisipasi Publik dalam Proses Verifikasi

Argumen:
Keterlibatan publik menutup celah manipulasi.

Reasoning:
Warga paling mengetahui siapa tetangga yang benar-benar miskin.

Baca juga:  Kisah I Fatimah Dang Takontu Garuda Betina dari Timur (Laskar Baine)  Pasukan Balira

Evidence:
Pada 2020, Kemensos mencatat 50% program tidak tersalurkan optimal karena minimnya partisipasi masyarakat.

Kesimpulannya, verifikasi berbasis komunitas akan menambah legitimasi keputusan.

5. Penggunaan Teknologi Digital

Argumen:
Teknologi menciptakan jejak audit (audit trail) yang tidak dapat dimanipulasi.

Reasoning:
Aplikasi mobile dan blockchain melacak alur distribusi secara transparan.

Evidence:
Kominfo (2020) mencatat 70% penduduk Indonesia memiliki akses internet, mendukung transformasi digital.

Kesimpulan:
Teknologi mempercepat penyaluran sekaligus menekan ruang penyimpangan.

6. Evaluasi dan Monitoring Berkala

Audit reguler wajib dilakukan, meliputi: ketepatan sasaran, efektivitas program, integritas pelaksana dan kepuasan masyarakat.

7. Kolaborasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat

LSM berperan penting dalam edukasi publik, advokasi, dan pendampingan masyarakat penerima manfaat. Kolaborasi ini memperkuat kontrol sosial dan memperluas jangkauan informasi.

Reformasi penyaluran Bansos bukan hanya persoalan administratif, tetapi menyangkut keadilan sosial, kepercayaan publik, dan martabat negara. Selama tata kelola masih memberi ruang untuk penyimpangan, maka Bansos akan terus menjadi komoditas kepentingan—bukan instrumen kesejahteraan.

Dengan lima strategi utama dan tujuh gagasan pembaruan di atas, negara dapat memastikan bahwa Bansos bukan hanya tersalur, tetapi tepat sasaran, tepat guna, dan tepat moral.

Opini ini disusun untuk mendorong pembaruan kebijakan yang lebih progresif, inklusif, dan tetap dalam koridor hukum yang berlaku.