Kiaracondong: Cermin Retak di Balik Slogan “Bandung Utama”

Avatar photo

Porosmedia.com – Kiaracondong hari ini bukan sekadar kecamatan padat di timur Kota Bandung. Ia adalah potret buram dari kota yang sedang berusaha menegakkan citra “Bandung Utama” — Unggul, Tertib, Aman, dan Maju.
Namun di balik jargon yang digadang-gadang dalam setiap baliho, Kiaracondong justru menampilkan wajah yang lebih jujur: air tak mengalir, pasar tenggelam dalam lumpur, jalan macet setiap pagi, dan warga yang mulai kehilangan kepercayaan terhadap janji perubahan.

Jika “Bandung Utama” dimaknai sebagai cita-cita besar menuju tata kelola kota yang berkeadilan dan berdaya, maka Kiaracondong adalah pengingat bahwa visi itu belum turun ke tanah — belum menyentuh rakyat di lapisan paling bawah.

🔹 1. Ketika Air Tak Mengalir, Janji Pelayanan Menguap

Warga Babakan Sari dan Kebon Jayanti sudah terlalu lama hidup dengan air galon dan ember penampungan. Saat kemarau datang, air PDAM berhenti mengalir. Tapi ironisnya, tagihan tetap rutin tiba.
Alasannya klasik: debit menurun, topografi tinggi, dan kendala teknis. Tapi di balik itu, ada persoalan lebih dalam — lemahnya pemerataan pelayanan publik.

Semboyan “Bandung Unggul” seharusnya bukan sekadar lomba inovasi digital, melainkan jaminan terhadap kebutuhan dasar: air bersih.
Pelayanan publik tidak bisa berhenti di papan slogan. Pemerintah kota harus memastikan bahwa keunggulan dimulai dari yang paling sederhana: memastikan air mengalir hingga ke keran rumah warga.

🔹 2. Pasar Kiaracondong: Nadi Ekonomi yang Dibiarkan Sakit

Pasar Kiaracondong adalah jantung ekonomi rakyat, namun kini berdenyut dalam genangan air dan bau limbah.
Gelap, becek, dan nyaris tak tersentuh revitalisasi bertahun-tahun. Para pedagang berjuang di antara lumpur dan sewa kios yang terus naik.

Baca juga:  Peduli Lingkungan SAS Hospitality Gelar Aksi Tanam 1000 Pohon Bersama Lindungi Hutan

Padahal, visi Bandung Utama menjanjikan penguatan ekonomi rakyat dan UMKM.
Revitalisasi pasar bukan proyek kosmetik, tapi fondasi keadilan ekonomi. Rakyat tak butuh bangunan megah di pusat kota — mereka hanya ingin berdagang dengan layak tanpa takut lantai licin dan atap bocor.
Selama pasar rakyat dibiarkan tenggelam, kata “Maju” dalam Bandung Utama hanyalah jargon tanpa substansi.

🔹 3. Flyover Kiaracondong: Ketertiban yang Gagal di Atas Aspal

Setiap pagi, Flyover Kiaracondong berubah menjadi labirin kekacauan. PKL menumpuk di bahu jalan, pasar tumpah menutup arus, dan kendaraan berhenti dalam antrean tak berujung.
Penertiban ada, tapi hanya sesaat. Setelah itu, semua kembali seperti semula.

Tertib bukan berarti menertibkan rakyat kecil semata, tapi menata sistem yang memberi ruang bagi mereka untuk hidup dengan teratur.
“Bandung Tertib” tidak bisa dibangun dengan baliho, tapi dengan keberanian menegakkan aturan tanpa diskriminasi — dari pelanggar kecil hingga pemodal besar.
Kiaracondong mengingatkan kita bahwa ketertiban sejati lahir dari konsistensi, bukan seremonial penertiban musiman.

🔹 4. Luka Sosial di Balik Proyek Pembangunan

Di balik geliat pembangunan jalur rel dan proyek perkotaan, tersisa cerita yang tak diangkat dalam konferensi pers: warga yang digusur tanpa kejelasan kompensasi.
Benar, hukum harus ditegakkan, tetapi pembangunan tanpa empati melahirkan luka sosial yang tak mudah sembuh.

Baca juga:  Kupas Tuntas Korupsi Pertamina: Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh

Slogan Bandung Aman tidak bisa diartikan sebagai “aman bagi proyek”, tetapi harus dimaknai “aman bagi kehidupan warganya”.
Keadilan sosial bukan hambatan pembangunan, justru ia adalah prasyarat agar pembangunan itu diterima dan dijaga bersama.

🔹 5. Birokrasi yang Kehilangan Rasa Pelayanan

Kantor kecamatan, sebagai garda depan pelayanan publik, sering kali mencerminkan wajah birokrasi yang kehilangan rasa.
Halaman kotor, kursi tunggu rusak, petugas yang abai — detail kecil yang menggambarkan bahwa pelayanan belum benar-benar berpihak pada warga.

Padahal, Bandung Unggul seharusnya dimulai dari etika pelayanan yang sederhana: ramah, cepat, bersih, dan transparan.
Jika kantor pelayanan publik saja tak mampu memberi teladan disiplin dan empati, maka seluruh visi besar hanya akan tinggal di naskah sambutan.

🔹 6. Kota yang Bersolek Tapi Tak Menyembuhkan

Pembangunan kota kini sering diukur dari tampilan: taman baru, mural, trotoar digital.
Namun di Kiaracondong, wajah gemerlap itu hanya terasa seperti panggung yang dipasang di depan rumah yang bocor.
Masalah mendasar — air bersih, pasar rakyat, dan kemacetan — belum tersentuh secara sistemik.

“Bandung Maju” seharusnya berarti berani memperbaiki yang sulit, bukan hanya memperindah yang mudah.
Kiaracondong tidak butuh proyek selfie, ia butuh solusi struktural: tata ruang yang berpihak pada warga dan kebijakan yang berpijak di bumi, bukan di layar presentasi.

🔹 7. Bandung Utama Harus Dimulai dari Pinggiran

Baca juga:  Satgas Yonif 123/Rajawali Gelar Patroli Pelayanan Kesehatan di Kampung Sahapikya, Distrik Venaha

Kiaracondong adalah ujian moral bagi visi Bandung Utama.
Jika pemerintah ingin Bandung benar-benar Unggul, Tertib, Aman, dan Maju, maka mulailah dari wilayah seperti ini — tempat di mana realitas dan janji bersinggungan paling keras.

Tidak akan ada Bandung yang unggul jika warganya masih berebut air bersih.
Tidak akan ada Bandung yang tertib jika pedagang masih berjualan di jalan karena pasar tak layak.
Tidak akan ada Bandung yang aman jika warga kecil hidup dalam ketakutan akan penggusuran.
Dan tidak akan ada Bandung yang maju jika birokrasi masih sibuk menjaga citra ketimbang melayani rakyat.

Dari Kiaracondong, Bandung Diuji

Slogan Bandung Utama adalah cita-cita mulia. Tapi setiap cita-cita membutuhkan keberanian untuk menghadapi kenyataan.
Kiaracondong bukan wilayah gagal, melainkan cermin retak yang menunjukkan di mana kebijakan harus diperbaiki.

Pemerintahan Farhan–Erwin punya peluang besar untuk membuktikan bahwa mereka bukan sekadar pewaris slogan, melainkan pelaku perubahan nyata.
Namun itu hanya bisa terjadi bila mereka berani menatap wajah Kiaracondong — bukan dari balik jendela mobil dinas, tapi dari gang-gang kecil tempat air berhenti mengalir.

Karena jika Kiaracondong dibiarkan tetap seperti ini, maka Bandung Utama hanya akan menjadi kalimat indah di baliho — bukan kenyataan yang bisa dirasakan rakyat.