Antara Gen X dan Gen Z — Siapa yang Benar-Benar Siap Menjadi Pewaris Peradaban Baru Indonesia?

Avatar photo

Porosmedia.com – Sumpah Pemuda 1928 bukan hanya momentum sejarah, tetapi cermin yang seharusnya terus memantulkan kesadaran: bangsa besar tidak lahir dari slogan, tetapi dari kesetiaan terhadap cita-cita bersama. Delapan puluh tujuh tahun setelah itu, bangsa ini menghadapi benturan antar-generasi: Gen X yang setia tapi skeptis, dan Gen Z yang cerdas tapi rapuh. Pertanyaannya — siapa yang benar-benar siap memikul tanggung jawab peradaban baru yang diimpikan pemerintah hari ini?

🔹 Gen X: Generasi Setia yang Mulai Letih

Gen X — mereka yang lahir di antara tahun 1965 hingga 1980 — tumbuh di masa transisi antara disiplin dan keterbatasan. Mereka terbiasa bekerja keras tanpa banyak keluhan, loyal pada pekerjaan, dan lebih memilih tindakan nyata ketimbang berdebat di dunia maya. Namun di balik ketangguhan itu, generasi ini sering kali terlalu sinis terhadap perubahan dan skeptis terhadap arah bangsa.

Di kantor-kantor pemerintahan dan korporasi, Gen X masih menjadi tulang punggung stabilitas institusi. Tapi sebagian dari mereka terjebak dalam rutinitas birokratis dan cenderung lambat menyesuaikan diri dengan teknologi baru. Akibatnya, mereka berisiko menjadi “penonton” dalam revolusi digital yang kini dikuasai anak muda.

Loyalitas Gen X memang tak diragukan, tapi pertanyaannya: apakah loyalitas tanpa adaptasi masih relevan di era percepatan global? Generasi ini harus berani membuka diri, bukan hanya terhadap teknologi, tapi juga terhadap gagasan baru yang sering mereka anggap “naif” hanya karena datang dari anak muda.

Baca juga:  Persetujuan DPRD Terhadap Program Pembentukan Perda Kota Cimahi Tahun Sidang 2024

🔹 Gen Z: Generasi Cemerlang yang Mudah Retak

Gen Z — lahir antara 1997 hingga 2012 — tumbuh dalam dunia serba terhubung, cepat, dan tanpa batas. Mereka tak hanya melek digital, tapi hidup di dalamnya. Mereka terbuka, berani bicara tentang kesetaraan, lingkungan, hingga isu mental yang dulu dianggap tabu.
Namun, di balik kecerahan itu tersimpan kerapuhan struktural: mudah menyerah, mudah tersinggung, dan sering kali kehilangan makna jangka panjang karena terbiasa dengan hasil instan.

Inilah generasi yang mampu menggerakkan ribuan massa hanya dengan satu unggahan media sosial, namun kerap kehilangan arah ketika berhadapan dengan realitas yang tak bisa “di-swipe” atau “di-skip.”
Banyak di antara mereka mencari pekerjaan yang “bermakna”, tapi enggan bertahan saat kenyataan tidak seindah ekspektasi. Kreatif, tapi sering kehilangan konsistensi. Terhubung, tapi kesepian.

Dan di sinilah ironi terbesar: di tengah kelimpahan informasi, Gen Z justru berisiko kehilangan jati diri kebangsaannya. Sumpah Pemuda bagi mereka lebih sering diartikan sebagai tagar seremonial ketimbang prinsip perjuangan. Padahal, generasi ini memegang kendali atas masa depan digital Indonesia.

Baca juga:  Hasil dari Rapat Nasional, MUI ajak wujudkan Pemilu Damai

🔹 Peradaban Baru: Antara Cita dan Realita

Pemerintah kerap berbicara tentang “Peradaban Baru” — istilah yang indah, tetapi kerap kehilangan konteks jika generasi penerusnya tidak benar-benar memahami akar sejarah dan makna kebangsaan.
Bonus demografi hanya akan menjadi bonus delusi jika generasi muda sibuk berkompetisi dalam ruang maya tanpa memahami substansi perjuangan nyata.

Gen Z harus disadarkan: teknologi bukan tujuan, melainkan alat perjuangan baru. Media sosial bisa menjadi senjata untuk menyebarkan solidaritas dan kebhinekaan, tapi juga bisa menjadi racun yang memecah persatuan jika digunakan tanpa kecerdasan emosional dan spiritual.

Sebaliknya, Gen X mesti berhenti menjadi generasi “penunggu warisan.” Pengalaman mereka penting, tetapi tanpa keberanian untuk belajar ulang, mereka hanya akan menjadi penjaga masa lalu, bukan pembimbing masa depan.

🔹 Sumpah Pemuda: Dari Simbol ke Tindakan

Tiga ikrar Sumpah Pemuda — satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa — kini diuji dalam bentuk baru: satu ruang digital, satu peradaban kebangsaan, dan satu bahasa moralitas.
Generasi Z dituntut untuk menjadikan teknologi sebagai sarana perjuangan, bukan pelarian.
Sementara Generasi X harus turun dari menara pengalaman dan kembali membimbing, bukan sekadar mengkritik.

Baca juga:  Star Syndrome atau konten kreator sejati ?

Semangat Sumpah Pemuda sejatinya bukan soal siapa yang lebih unggul, tapi siapa yang berani menjaga persatuan dalam perbedaan — baik di jalanan Jakarta 1928 maupun di dunia maya 2025.

🔹 Sumpah Baru untuk Indonesia

Indonesia hari ini membutuhkan “Sumpah Pemuda Baru”:
Bukan untuk mengulang sejarah, tapi untuk menghidupkan kembali semangatnya dalam wujud yang sesuai zaman.
Gen Z dengan kecerdasannya dan Gen X dengan pengalamannya harus saling melengkapi — bukan saling meniadakan.
Peradaban baru hanya mungkin lahir jika dua generasi ini bersedia berbagi peran: yang tua mengarahkan, yang muda menggerakkan.

Dan jika keduanya gagal memahami makna persatuan di tengah kebisingan algoritma, maka peradaban baru yang diimpikan itu takkan pernah lahir — hanya akan menjadi mimpi digital di tengah bangsa yang kehilangan arah.