Healing Barat vs Healing Syar’i: Menyembuhkan Luka dengan Arah yang Benar

Avatar photo

Porosmedia.com – Hari ini, istilah healing menjadi begitu populer. Dari remaja hingga ibu-ibu muda, semua merasa perlu healing setiap kali rasa lelah, stres, atau depresi datang menghampiri. Pergi ke pantai, belanja, kulineran, atau sekadar ngopi sambil menikmati senja—semuanya dianggap sebagai bentuk penyembuhan jiwa yang terluka. Tapi benarkah luka itu sembuh? Atau hanya diredam sementara?

Inilah persoalan utama dari konsep healing ala Barat: ia menawarkan pelarian, bukan pemulihan. Ia membius luka, bukan mengobatinya. Ia menenangkan sesaat, namun membiarkan akar luka terus tumbuh dalam diam—siap meledak dalam bentuk yang lain di kemudian hari.

Barat mengajarkan bahwa saat luka datang, kembalilah pada dirimu sendiri. Dengarkan hatimu, cintai dirimu. Seolah-olah dirimu adalah penyembuh tunggal bagi semua derita yang kamu tanggung. Maka banyak orang terjebak dalam keheningan yang semu—merasa tenang dalam kesendirian, padahal hanyut dalam kesepian. Merasa damai dalam self-love, padahal menjauh dari Zat Yang Maha Mencintai.

Berbeda dengan Islam yang datang dengan konsep healing syar’i. Islam tak menafikan bahwa jiwa bisa terluka. Bahkan Rasulullah ﷺ, manusia paling mulia dan paling dicintai Allah, pun pernah sedih, kecewa, dan merasa berat menanggung amanah. Tapi bagaimana beliau menghadapi itu semua?

Baca juga:  Ribuan Massa Long March Bela Palestina Di Kota Cimahi

Bukan dengan mengasingkan diri dari realitas kehidupan. Bukan pula dengan lari ke tempat sunyi tanpa arah. Rasulullah ﷺ menyembuhkan diri dengan kembali kepada Allah. Dalam Islam, healing bukan sekadar relaksasi, tapi tazkiyatun nafs—penyucian jiwa.

Ketika jiwa terasa kosong, Islam mengajarkan kita untuk mendekat kepada Dzat yang Maha Mengisi. Ketika hati terasa penat, Islam menuntun kita untuk bersujud dan menyerahkan semua beban kepada-Nya. Dan ketika hidup terasa gelap, Islam tidak menyuruhmu mengejar cahaya semu, tapi menuntunmu pada cahaya wahyu.

“Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
(QS. Ar-Ra’d: 28)

Inilah hakikat healing dalam Islam: bukan sekadar mencari ketenangan, tapi menemukan makna. Bukan sekadar memburu kebahagiaan sesaat, tapi hidup dalam ridha-Nya. Islam tidak mengajarkan self-love yang egoistik, tapi cinta yang mengarahkan jiwa kembali pada Rabb-nya.

Maka saat luka datang, jangan buru-buru mencari pantai, café, atau tempat sepi. Carilah Allah. Ambil wudhu, buka mushaf, dan sujudlah dalam hening malam. Tumpahkan air matamu dalam doa, ceritakan seluruh luka kepada-Nya. Karena hanya Dia yang benar-benar tahu isi hatimu, bahkan sebelum kamu mampu menyusunnya dalam kata-kata.

Baca juga:  Pemkab Purwakarta Peringati Isra Mi'raj 1443 H 2022 M

Healing yang sejati adalah kembali—kembali kepada Allah, kepada iman, kepada syariat. Sebab tidak ada ketenangan dalam pelarian, tapi ada kedamaian dalam kepasrahan kepada takdir-Nya. Ada kelegaan dalam ridha atas kehendak-Nya, dan ada kesembuhan dalam ketaatan kepada perintah-Nya.

 

Fikrul Mustanir