GovTech: Strategi Prabowo dan Bamsoet Menyatukan Negara dalam Satu Layar

Avatar photo

Porosmedia.com, Jakarta – Wacana peluncuran super apps bernama Government Technology (GovTech) oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto telah menyalakan harapan baru sekaligus skeptisisme publik. Di antara para pendukung ide ini, salah satu yang paling vokal adalah Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus anggota DPR RI, Bambang Soesatyo alias Bamsoet. Dalam pertemuannya dengan jajaran Direksi Hypernet Technologies, Bamsoet menyebut GovTech sebagai langkah “visioner” untuk mewujudkan pemerintahan yang efisien dan transparan.

Namun, benarkah satu aplikasi bisa menyelesaikan persoalan sistemik dalam birokrasi Indonesia? Ataukah ini hanya wajah baru dari euforia digital yang berulang kali gagal karena buruknya eksekusi dan korupsi struktural?

Saat ini, tercatat lebih dari 2.700 aplikasi milik kementerian/lembaga berjalan sendiri-sendiri, tanpa interoperabilitas dan tanpa kesatuan data. Inilah yang menjadi argumen utama Bamsoet dalam mendukung GovTech—agar semua layanan negara bisa disatukan dalam satu wadah, dari pelayanan publik hingga pengawasan anggaran.

“Digitalisasi bukan hanya soal teknologi. Ini soal membangun ekosistem pemerintahan yang efisien, transparan, dan akuntabel,” ujar Bamsoet, Selasa (27/5), seraya menambahkan bahwa integrasi aplikasi pemerintah berpotensi menghemat anggaran hingga Rp 100 triliun dalam beberapa tahun ke depan.

Baca juga:  Penghematan Rp 750 Triliun, PSI: Rencana yang Perlu untuk Indonesia Maju

Namun pertanyaan kritisnya: jika selama ini lebih dari dua ribu aplikasi bisa hidup liar tanpa koordinasi, mengapa harus menunggu Prabowo untuk menyatukannya? Bukankah itu indikasi kegagalan kolektif lintas rezim?

Salah satu fitur andalan dari GovTech adalah e-catalog 6.0, sistem digital yang diklaim mampu melakukan analisis kebutuhan otomatis dan evaluasi vendor berbasis data. Tujuannya jelas: menghilangkan manipulasi pengadaan, tender fiktif, dan mark-up anggaran. Bahkan, Bamsoet menyebut sistem ini memungkinkan publik mengakses portal transparansi anggaran.

Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa transparansi digital seringkali hanya menyentuh permukaan. Banyak aplikasi pengadaan sudah ada, tapi tetap tak mampu membendung permainan mafia proyek yang bermain di bawah meja, dengan deking politik dan aparat.

GovTech harus menjawab ini bukan hanya dengan kode-kode digital, tetapi dengan reformasi kelembagaan, pengawasan independen, dan pemberantasan korupsi yang bukan basa-basi.

Kebijakan GovTech yang mewajibkan setiap keluarga memiliki rekening bank juga menjadi sorotan. Tujuannya mulia: bansos langsung ke penerima, tanpa perantara, tanpa celah bocor. Data Dewan Ekonomi Nasional menyebut sistem ini bisa mengurangi kebocoran hingga 30%.

Baca juga:  Spesifikasi dan Harga Samsung Galaxy S22 Terbaru 2022

Tapi sejauh mana negara mampu memastikan digital literacy masyarakat di pelosok? Jika rekening dibuka tapi tak pernah digunakan karena ketidaktahuan atau ketiadaan jaringan, maka tujuan reformasi bisa jadi kontraproduktif.

Bamsoet menyebut pelatihan bagi aparat desa dan kolaborasi dengan startup lokal sebagai solusi. Namun lagi-lagi, ini akan tergantung pada komitmen anggaran, distribusi program, dan pengawasan pelaksanaan.

GovTech—bila berhasil—bukan hanya tentang satu aplikasi, melainkan tentang penyatuan sistem pemerintahan yang selama ini compartmentalized dan penuh ego sektoral. Tapi jalan menuju suksesnya integrasi digital tidak mudah.

Butuh kemauan politik, konsolidasi lintas kementerian, audit menyeluruh terhadap aplikasi lama, dan tentu saja: kemauan untuk menghapus korupsi digital yang bisa lebih licin daripada praktik manual.

GovTech bukan jalan pintas. Ini medan perang baru di era digital. Dan publik berhak mengawasi—karena teknologi tanpa pengawasan rakyat, hanya akan menggantikan satu jenis elite korup dengan elite digital yang tak kalah lihainya.

Publik menyambut baik inisiatif GovTech sebagai langkah maju, selama ini bukan sekadar kemasan teknologi untuk menutupi borok lama. Jika Prabowo dan Bamsoet sungguh ingin menciptakan pemerintahan yang bersih, maka transparansi harus dimulai dari audit politik, reformasi SDM birokrasi, dan keterlibatan publik secara aktif dalam pengawasan data dan anggaran.

Baca juga:  Prof. Sri Hardjoko : Tidak Semua Bisa Dimanfaatkan AI

Tanpa itu semua, GovTech hanya akan menjadi katalog digital dari kegagalan lama yang dibungkus antarmuka cantik.