Porosmedia.com, Bandung – Dalam ikhtiar panjang membangun ketangguhan kota di tengah bayang-bayang krisis iklim dan bencana hidrometeorologi, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan meresmikan Agroforestry Kolam Retensi Ciporet, Selasa (27/5/2025), di kawasan Jalan Ciporeat, Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Ujungberung. Proyek ini menjadi tonggak baru dari strategi kolaboratif Pemkot Bandung untuk menghadapi persoalan banjir, sekaligus membangun budaya ekologis di kawasan hulu.
Bagi Farhan, ini bukan sekadar infrastruktur pengendali air, tetapi simbol peradaban baru: gotong royong lintas institusi dan warga dalam menjaga keberlanjutan ruang hidup.
“Kita tidak sedang membangun proyek mercusuar, kita sedang membangun daya tahan warga Bandung dari ancaman banjir dan krisis iklim. Ini adalah kerja bersama—dari BBWS, provinsi, pemkot, hingga masyarakat akar rumput,” ujar Farhan.
Ia menekankan pentingnya menjaga kawasan konservasi seperti Manglayang, Tangkubanparahu, dan Malabar yang menjadi penyangga ekologi Bandung Raya. Di tengah pesatnya alih fungsi lahan dan pembangunan gedung-gedung menjulang, Farhan mengingatkan pentingnya menjaga garis pandang pegunungan dan kelestarian hutannya sebagai nilai budaya sekaligus sumber kehidupan.
“Gunung bukan hanya pemandangan. Ia penjaga air, penjaga nyawa. Jangan sampai dibunuh pelan-pelan oleh ketamakan dan ketidaktahuan,” tegasnya.
Dengan model agroforestry, kolam retensi Ciporet bukan hanya menyimpan air saat musim hujan, tapi juga ditanami tanaman produktif dan konservatif. Ke depan, kawasan ini diharapkan menjadi ruang edukasi, ekowisata, hingga penguatan ekonomi lokal melalui pembentukan Koperasi Merah Putih—wadah masyarakat sekitar untuk merawat, mengelola, dan memperoleh manfaat dari ekosistem yang dibangun.
Farhan juga memberikan instruksi langsung kepada Dinas SDABM, DLH, dan DPKP agar segera membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sederhana. Ini menjadi respons konkret atas aktivitas pabrik tahu rumahan yang selama ini menghasilkan limbah cair di kawasan Ciporet.
“Kita jangan cuma menegur pelaku usaha kecil, tapi juga hadir memberi solusi. Kalau IPAL dibutuhkan, maka kita bangun bersama. Pemerintah harus jadi pelayan, bukan hanya pengawas,” ucapnya lantang.
Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga Kota Bandung, Didi Ruswandi, mengamini bahwa kolam retensi Ciporet adalah model tata ruang yang integratif. Bukan hanya soal menampung air, tetapi juga soal menghidupkan kembali vegetasi, menjaga biodiversitas, dan membangun peran aktif warga.
“Ini bukan sekadar proyek betonisasi. Ini proyek kehidupan. Kita sedang mengembalikan fungsi ekologis kawasan hulu, sambil memberdayakan warga sebagai penjaganya,” kata Didi.
Ia menambahkan bahwa kolam Ciporet adalah percontohan awal pengelolaan ruang berbasis kolaborasi, yang akan direplikasi di kawasan rawan banjir lainnya.
Tak ketinggalan, Anggota Komisi III DPRD Kota Bandung, AA Abdul Rozak menegaskan komitmen legislatif untuk mengawal program ini. Baginya, kolam Ciporet bukan aset pemerintah semata, tapi ruang kolektif warga Kota Bandung.
“Kolam ini milik kita bersama. Mari jadikan ini ruang belajar, tempat berkegiatan, dan simbol kesadaran baru kita dalam menjaga lingkungan hidup,” katanya penuh semangat.
Peresmian yang turut dihadiri oleh Wakil Wali Kota Bandung Erwin, Anggota DPRD Komisi III Rendiana Awangga, Penjabat Sekda, Forkopimcam, dan elemen masyarakat ini menjadi penanda bahwa Bandung tidak tinggal diam menghadapi perubahan iklim. Dari Ciporet, Bandung mengirim pesan kuat: penyelamatan lingkungan hanya mungkin jika dibangun di atas kerja sama yang setara antara pemerintah dan rakyat.