Porosmedia.com, Bandung — Seratus hari bukanlah tonggak akhir, melainkan awal dari ujian sesungguhnya. Pemerintahan Wali Kota Bandung Muhammad Farhan dan Wakil Wali Kota Erwin kini memasuki fase evaluasi pertama sejak dilantik. Dalam waktu singkat, sejumlah langkah taktis mulai digulirkan, dari persoalan paling mendesak seperti sampah dan banjir, hingga perkara moral seperti pemberantasan minuman keras (minol).
“Kalau bicara 100 hari, ya kami sudah banyak yang kami lakukan,” ujar Wakil Wali Kota Erwin saat ditemui di Kampus 2 UIN Bandung, Jumat, 30 Mei 2025. Namun, di balik pernyataan sederhana itu, terbentang kompleksitas yang sedang diurai satu per satu oleh duet pemimpin anyar ini.
Bandung kerap menjadi wajah ironis dari kota kreatif yang dililit krisis sampah. Namun dalam tiga bulan pertama pemerintahannya, Farhan-Erwin mengklaim telah menyelesaikan sebagian besar dari 136 titik kumpul (tikum) sampah. “Sudah banyak tikum-tikum yang kami selesaikan. Kalau masih ada, masyarakat bisa lapor, kami langsung bereskan,” ujar Erwin.
Langkah teknokratis pun menyusul. Tujuh mesin insinerator kini aktif di Tempat Pengolahan Terpadu (TPT). Meski masih ada 144 rit sampah yang dibuang ke TPA, sekitar 400 ton lainnya mulai diolah secara mandiri dan berbasis komunitas. “Ada yang lewat pemusnahan, ada juga yang lewat pengolahan mandiri oleh masyarakat,” katanya.
Namun, publik menunggu lebih dari sekadar data teknis. Efektivitas dan keberlanjutan program seperti Kawasan Bebas Sampah akan menjadi tolok ukur—apakah ini hanya langkah darurat atau bagian dari transformasi sistemik.
Bandung tak hanya bertarung dengan sampah. Banjir menjadi ancaman musiman yang terus menghantui kota. Pemkot Bandung kini membangun lima seke air dan 15 kolam retensi, dengan target 30 kolam rampung pada 2026. Namun yang menarik adalah pendekatan agresif terhadap pengembang yang lalai.
“Kalau pengembang tidak memberikan [fasilitas umum dan sosial], kita ambil alih semua supaya kita bisa langsung garap,” tegas Erwin. Strategi ini menjadi sinyal bahwa Pemkot tak lagi bersikap lunak terhadap kepentingan swasta yang menghambat target 30% ruang terbuka hijau.
Erwin juga menyebut bahwa ruang-ruang publik yang dibangun tak hanya berfungsi ekologis, tapi juga psikososial. Di Ciporeat, Ujungberung, misalnya, sumber mata air (seke) diresmikan sebagai kawasan konservasi sekaligus tempat healing bagi warga. “Kalau airnya surut, kita tahu berarti ada penebangan liar. Maka dijaga,” ujarnya.
Salah satu gebrakan yang mendapat perhatian adalah penertiban minuman keras. Di tengah atmosfer kebebasan yang kerap kebablasan, Erwin menegaskan bahwa kota ini juga butuh kontrol moral. “Kami turun langsung. Sebelumnya belum ada, insya Allah sekarang kami lakukan,” katanya.
Langkah ini memang menuai pro-kontra, namun dalam perspektif tata kelola kota, langkah tersebut menunjukkan bahwa Pemkot Bandung tidak ingin hanya mengurus infrastruktur fisik, tetapi juga kualitas sosial masyarakat.
Di tengah semua itu, Erwin tak lupa menggandeng kekuatan kampus. Ia mengajak mahasiswa ikut ambil bagian dalam pembangunan sosial Kota Bandung. “Mahasiswa harus ikut dalam demokrasi sosial. Bantu UMKM, bantu masyarakat,” serunya.
Ajakan ini mencerminkan semangat kolaboratif yang kini coba dibangun: antara negara dan warga, antara pemerintah dan akademisi. Ini penting di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi-institusi formal.
Masa 100 hari memang simbolik, namun di balik simbol itulah masyarakat menagih janji. “Seratus hari ini bukan akhir, kami terus bekerja dan bergerak untuk kemajuan Kota Bandung,” tegas Erwin.
Kota ini sudah terlalu lama dikepung masalah laten: sampah, banjir, ruang hijau yang tergerus, hingga kekosongan moral publik. Apakah Farhan-Erwin mampu mengubah arah? Waktu akan menjawab. Yang pasti, Bandung kini bergerak—dengan segala catatan, tantangan, dan kemungkinan.
Reporter: rob