Oleh: Nurcahyo Adi
Porosmedia.com – Saya tidak menentang keberadaan kelapa sawit. Komoditas ini memberi manfaat besar bagi perekonomian nasional, membuka lapangan kerja, dan menopang kesejahteraan masyarakat. Namun, yang perlu dicermati bukan pada substansi ekonominya, melainkan pada simbol yang kini disandingkan.
Ketika lambang resmi Kementerian Kehutanan disinkronkan atau disandingkan dengan lambang kelapa sawit, di situlah letak kekeliruannya. Ini bukan sekadar urusan estetika atau desain visual — ini menyangkut roh dan ideologi kelembagaan.
Makna Lambang dan Tafsir Simbolik
Lambang bukan sekadar gambar; ia adalah representasi identitas, nilai, dan arah kebijakan. Fungsi simbol adalah menyampaikan makna tanpa kata, sekaligus menjadi pembeda yang tegas antara satu institusi dan lainnya.
Dua lambang yang dibandingkan dalam konteks ini sebenarnya mewakili dua entitas yang berbeda secara filosofis. Hutan bukan sawit, dan sawit bukan hutan. Upaya “mensinkronkan” keduanya lewat lambang justru menimbulkan tafsir publik bahwa kehutanan telah terkooptasi oleh kepentingan industri sawit.
Padahal, hutan dan sawit sama-sama penting, tetapi memiliki ruang keilmuan dan tanggung jawab yang berbeda. Mengelola hutan yang baik tidak berarti anti-sawit, begitu pula menanam sawit yang produktif tidak harus merusak hutan. Keduanya memiliki pijakan ilmiah, regulasi, dan filosofi pengelolaan yang tidak identik.
Simbol sebagai Ideologi
Kita perlu mengingat, Manggala Wanabhakti — nama gedung Kementerian Kehutanan — bermakna “tempat pengabdian bagi kelestarian hutan” atau “perwujudan bakti terhadap hutan”. Ketika simbol kehutanan digeser atau disandingkan dengan simbol industri, makna ideologis itu terancam kabur.
Barangkali di antara para pejabat di Gedung Manggala, ada yang menyadari keganjilan ini, namun memilih diam karena alasan pragmatis: karier, jabatan, tunjangan, atau sekadar rasa sungkan terhadap arus politik yang lebih kuat. Dalam situasi seperti itu, idealisme kerap berhadapan dengan realitas birokrasi.
Ada yang mungkin beranggapan, “Apalah arti sebuah lambang.” Tetapi sesungguhnya, seperti kata Iwan Fals, “Garuda bukan burung perkutut.” Sebuah pengingat bahwa simbol bukanlah hal sederhana — ia adalah penegasan jati diri dan nilai yang diwakilinya.
Simbol, Makna, dan Kesadaran Kolektif
Dalam disiplin semiotika, filsafat, dan psikologi, simbol merupakan entitas kompleks yang membentuk cara manusia berpikir dan berbudaya. “Symbol is not a simple matter,” tulis para ahli semiotika. Ia tidak hanya menandai sesuatu, tetapi juga membentuk kesadaran kolektif yang dalam.
Psikolog analitik Carl Jung bahkan menegaskan:
“Symbols are not mere signs but powerful entities laden with meaning from the personal and collective unconscious.”
Simbol bukan sekadar tanda, melainkan entitas kuat yang menyimpan makna dari kesadaran pribadi maupun kolektif — sesuatu yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya secara rasional.
Artinya, mengubah atau menyandingkan simbol institusi bukanlah tindakan teknis semata, melainkan deklarasi nilai. Bila disadari dengan jernih, penyatuan lambang kehutanan dan sawit bisa terbaca sebagai pesan bahwa hutan tidak lagi menjadi prioritas utama. Dan itu, jika benar terjadi, adalah sebuah kekeliruan ideologis yang berpotensi sistemik.
Antara Kebodohan dan Kesadaran Baru
Namun, seperti dikatakan Stuart Firestein dalam bukunya Ignorance: How It Drives Science (2012), “stupidity can be a force for improvement” — kebodohan bisa menjadi pemicu perubahan menuju arah yang lebih baik.
Maka, jika hari ini kita melihat kekeliruan dalam memaknai simbol-simbol kehutanan, semoga itu menjadi pemantik bagi kita semua — terutama para pegiat lingkungan dan birokrat yang masih memiliki nurani — untuk kembali menegakkan makna sejati dari pengabdian terhadap hutan.
Sebab, hutan bukan sekadar ruang ekonomi, melainkan ruang kehidupan. Dan simbol bukan sekadar gambar, melainkan penjaga makna dari apa yang kita perjuangkan.
Sentul, 12 November 2025
Nurcahyo Adi







