Reformasi Polri di Ujung Harapan: Antara Komitmen Politik dan Ujian Keberanian Moral

Avatar photo

Porosmedia.com – Pelantikan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh Presiden Prabowo Subianto pada 7 November 2025 menjadi peristiwa penting yang menandai babak baru perjalanan reformasi institusi penegak hukum terbesar di negeri ini. Dipimpin oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dan beranggotakan sejumlah nama besar seperti Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, Otto Hasibuan, serta empat mantan Kapolri dan satu Kapolri aktif, komisi ini tidak hanya simbol politik, tetapi juga penanda krisis kepercayaan publik terhadap proses reformasi Polri yang belum tuntas.

Namun, di balik kemegahan upacara pelantikan dan deretan nama besar itu, terselip pertanyaan fundamental yang tak bisa dihindari: Apakah reformasi Polri benar-benar akan dipercepat, atau justru diperlambat oleh kompromi di ruang kekuasaan?

1. Reformasi yang Tak Pernah Selesai

Dua puluh tujuh tahun pasca-Reformasi 1998, Polri telah melalui berbagai tahap pembenahan, mulai dari pemisahan institusional dengan TNI hingga pembentukan berbagai lembaga pengawas internal dan eksternal. Namun, hasilnya masih jauh dari harapan publik. Kasus penyalahgunaan wewenang, kekerasan aparat, dan lemahnya akuntabilitas penegakan hukum masih menghantui citra kepolisian.

Pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri adalah pengakuan eksplisit bahwa reformasi sebelumnya belum berhasil menyentuh akar persoalan. Dengan kata lain, negara sedang mencoba menambal cacat struktural yang tak kunjung sembuh — dan kali ini dengan harapan bahwa para “tokoh besar” mampu menyembuhkan luka yang mereka sendiri, sebagian di antaranya, pernah alami dari dalam sistem.

Baca juga:  Kongres Pemuda Indonesia desak KPK RI panggil dan tangkap HK bersama Harun Masiku

2. Komposisi Tokoh: Cermin Harapan dan Keterbatasan

Kehadiran figur seperti Prof. Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD tentu memberi bobot moral dan intelektual yang tinggi. Mereka dikenal sebagai penjaga nalar konstitusional dan etika hukum. Tetapi di sisi lain, masuknya empat mantan Kapolri serta satu Kapolri aktif menimbulkan dilema etis dan persepsi publik tentang independensi.

Bagaimana mungkin sebuah komisi yang bertugas “mereformasi Polri” dapat bekerja secara objektif ketika separuh anggotanya berasal dari tubuh yang akan direformasi itu sendiri?

Inilah paradoks moral yang harus dihadapi Komisi ini — antara pengalaman teknis dan beban masa lalu. Jika para mantan pejabat tinggi Polri yang kini duduk di komisi itu berani membuka borok struktural dan budaya kekuasaan lama, maka mereka akan mencatat sejarah sebagai reformis sejati. Tapi jika tidak, maka komisi ini hanya akan menjadi ruang kompromi elit — di mana reformasi berubah menjadi retorika.

3. Mandat Presiden: Antara Tekad dan Politik

Secara politik, langkah Presiden Prabowo membentuk komisi ini adalah pesan kuat. Ia ingin menunjukkan bahwa pemerintahan barunya tidak menutup mata terhadap krisis kepercayaan terhadap Polri. Namun dari sisi hukum, mandat yang diberikan melalui Keputusan Presiden Nomor 122/P Tahun 2025 hanya bersifat rekomendatif, bukan eksekutif.

Artinya, komisi ini tidak memiliki kekuasaan memaksa. Ia hanya bisa menyarankan, bukan memutuskan. Maka keberhasilan komisi ini akan sangat bergantung pada political will Presiden dan kesediaan institusi Polri untuk membuka diri terhadap kritik.

Baca juga:  Konsistensi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo Sedang Diuji

Dalam konteks itu, publik memiliki hak untuk mempertanyakan: apakah komisi ini benar-benar akan menjadi “mesin percepatan reformasi,” atau sekadar menjadi buffer politik untuk meredam tekanan publik dan memperbaiki citra?

4. Tantangan Utama: Mengubah Budaya Kekuasaan

Reformasi Polri bukan semata-mata soal struktur, anggaran, atau teknologi. Persoalan utamanya adalah budaya kekuasaan — budaya yang sering kali menempatkan loyalitas pribadi di atas profesionalisme, dan hierarki di atas akuntabilitas publik.

Selama nilai dasar “kekuasaan di atas hukum” masih bersemayam dalam mentalitas aparat, maka reformasi hanya akan menjadi jargon administratif. Tugas berat Komisi ini adalah menembus dinding kultural yang selama ini menjadi benteng konservatif perubahan — dari level pimpinan hingga basis terendah.

5. Sumpah Jabatan: Retorika atau Komitmen Moral

Sumpah jabatan yang didiktekan langsung oleh Presiden Prabowo — dengan penegasan akan kesetiaan pada UUD 1945 dan etika jabatan — adalah momen simbolik yang penting. Namun sejarah politik Indonesia mengajarkan bahwa sumpah sering kali lebih mudah diucapkan daripada diwujudkan.

Reformasi sejati menuntut keberanian moral, bukan hanya legalitas administratif. Ia membutuhkan kesediaan untuk menanggung konsekuensi dari keputusan berani — termasuk mengkritik kebijakan lama, menindak penyimpangan internal, dan menolak intervensi politik dari mana pun datangnya.

Baca juga:  Luthfi Firdaus, S.T., M.Si, Birokrat Teknis yang Menjawab Tantangan Hunian dan Ruang Publik Kota Bandung

6. Harapan Publik: Dari Slogan Menuju Substansi

Publik menanti hasil kerja nyata: reformasi dalam rekrutmen, profesionalisasi penyidikan, pembenahan pengawasan internal, dan penghentian impunitas terhadap pelanggaran etik aparat. Komisi ini akan diuji bukan dari jumlah rapat atau laporan yang mereka hasilkan, tetapi dari sejauh mana rekomendasi mereka mampu mengubah cara kerja dan wajah hukum di Indonesia.

Jika Komisi ini gagal menembus dinding status quo, maka ia akan menjadi catatan kaki lain dalam sejarah panjang reformasi yang tertunda. Tetapi jika ia berhasil, maka nama-nama di dalamnya akan dikenang sebagai tokoh yang mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi yang paling dekat dengan wajah negara di mata rakyat: Kepolisian Republik Indonesia.

Reformasi Polri bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Komisi Percepatan Reformasi Polri adalah ujian moral bagi bangsa — sejauh mana kita berani membenahi institusi yang selama ini menjadi cermin dari cara kekuasaan dijalankan. Sejarah akan mencatat: apakah komisi ini menjadi tonggak keberanian, atau sekadar hiasan demokrasi di ruang istana.

 

🟨 Tulisan ini merupakan opini redaksi Porosmedia.com yang disusun berdasarkan analisa hukum, politik, dan etika kelembagaan tanpa mengubah fakta dasar peristiwa pelantikan Komisi Percepatan Reformasi Polri. Opini ini bersifat independen, konstruktif, dan bertujuan memperkuat transparansi publik dalam proses reformasi institusional.

Sudrajat|Porosmedia