Berita  

Partisipasi Warga Jadi Titik Lemah Pengelolaan Sampah Kota Bandung: Pemkot Dorong Penguatan Disiplin Lingkungan di Tingkat RW

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, menegaskan bahwa hambatan terbesar dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung saat ini bukan terletak pada minimnya teknologi, tetapi pada lemahnya partisipasi publik yang belum merata di seluruh wilayah kota.

“Tantangan saya sekarang ini dalam pengelolaan sampah bukan teknologi, tapi public participatory. Partisipasi masyarakat soal sampah itu masih sangat rendah,” ujar Farhan dalam Talkshow INNOVIBES Vol. 3 bertema Circular Economy dan Masa Depan Kota Berkelanjutan di Innercourt ITB Innovation Park, Kawasan Summarecon Bandung, Kamis (13/11/2025).

Menurut Farhan, ketimpangan partisipasi warga terlihat jelas dari capaian program Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan (Kang Pisman) yang diluncurkan pada 2019 dan didukung oleh program Buruan Sae. Dari total 1.597 RW, hanya sekitar 400 RW yang sudah menunjukkan kedisiplinan tinggi dalam pengelolaan sampah.

“Artinya masih ada lebih dari seribu RW yang belum disiplin dalam pengelolaan sampah. Padahal, kuncinya bukan di alat atau mesin, tapi di kesadaran warganya,” kata Farhan.

Ia juga menyoroti fenomena meningkatnya minat terhadap teknologi insinerator sebagai solusi instan. Menurutnya, euforia tersebut berisiko mengaburkan prioritas utama: pengolahan sampah berbasis komunitas yang tertuang dalam grand desain persampahan Kota Bandung.

Baca juga:  EIGER mengirimkan pesan #MariKembali kepada siapapun dalam merayakan Ramadan dan Mudik Lebaran

“Sekarang semua orang tergila-gila pada insinerator. Padahal, grand desain Kota Bandung adalah 30 persen sampah harus habis di RW. Mau tidak mau, kita harus memastikan 1.597 RW itu bisa mengolah sampah organik di wilayahnya masing-masing,” tegas Farhan.

Sampah organik yang dikelola di tingkat RW menjadi pondasi utama untuk meminimalisasi beban angkut dan mengurangi tekanan pada fasilitas pengolahan kota. Sisanya, sampah nonorganik dapat didorong menjadi material daur ulang atau masuk ke fasilitas Refuse Derived Fuel (RDF).

Farhan menyebutkan, saat ini Kota Bandung telah memiliki industri daur ulang plastik berskala signifikan di Cigondewah. Namun kapasitas RDF yang baru mencapai sekitar 10 ton per hari masih jauh dari ideal, sehingga rentan menimbulkan penumpukan jika volume sampah residu meningkat.

“Kalau kapasitas RDF kita sudah di angka 60 ton, maka pengolahan bisa stabil. Kalau tidak, penumpukan dua hari saja sudah jadi masalah,” ujarnya.

Farhan menekankan bahwa perubahan sistem pengelolaan sampah tidak cukup hanya dengan investasi infrastruktur atau teknologi berbiaya tinggi. Keberhasilan Bandung menuju kota berkelanjutan bergantung pada konsistensi perilaku warga sejak dari rumah.

Baca juga:  Kabar Duka! Putra Cristiano Ronaldo Meninggal Dunia

“Kuncinya bukan di mesin mahal, tapi di kebiasaan kecil setiap hari. Kalau tiap RW bergerak, Bandung pasti bisa,” tutupnya.