
Porosmedia.com – Dalam sistem pemerintahan daerah, hubungan antara kepala dinas, gubernur, dan DPRD seharusnya berjalan dalam satu tarikan napas: melayani rakyat dan memastikan kebijakan publik terlaksana secara efektif. Namun realitas birokrasi hari ini menunjukkan, relasi antarelemen itu sering kali pincang—lebih condong pada kepentingan politik ketimbang kepentingan publik.
Kepala dinas sejatinya bukan sekadar pelaksana administratif. Ia adalah perumus arah teknis dari kebijakan daerah. Dalam banyak kasus, posisi kepala dinas berubah menjadi sekadar “alat pengabsah” keputusan politik pimpinan daerah. Padahal, fungsi idealnya mencakup perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan urusan pemerintahan, pembinaan, pengawasan, hingga pelaporan kinerja yang objektif.
Ketika kepala dinas gagal menempatkan diri sebagai figur profesional yang independen, maka kebijakan publik kehilangan ruhnya. Ia hanya menjadi proyek jangka pendek yang dikendalikan oleh kepentingan politik. Dalam konteks ini, kepala daerah semestinya memberi ruang otonomi profesional agar kepala dinas tidak terjerat pada praktik transaksional—misalnya jual beli jabatan atau tekanan anggaran nonteknis yang merusak integritas birokrasi.
Gubernur memiliki dua wajah kewenangan yang sering kali menimbulkan benturan. Sebagai kepala daerah, ia berfungsi memimpin pemerintahan provinsi dan menata pembangunan berdasarkan kebijakan bersama DPRD. Namun di sisi lain, sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur harus memastikan kebijakan nasional berjalan serentak dan konsisten di daerah.
Dilema muncul ketika kepentingan pusat dan daerah tidak sejalan. Gubernur dituntut menjadi jembatan yang bijak—bukan sekadar kepanjangan tangan pusat, apalagi penguasa administratif yang hanya sibuk mengamankan citra politik. Dalam perannya sebagai budget optimizer, gubernur harus menolak pemborosan anggaran dan mengutamakan program yang memberi manfaat nyata bagi rakyat.
Sikap seperti inilah yang membedakan pemimpin daerah sejati dari sekadar administrator kekuasaan.
Secara konstitusional, DPRD merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah bersama kepala daerah. DPRD memegang fungsi strategis: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Namun sering kali ketiga fungsi itu kehilangan makna substantif karena bergeser menjadi arena kompromi politik yang sarat kepentingan.
Dalam banyak kasus, fungsi pengawasan DPRD melemah karena kedekatan politik dengan eksekutif. Padahal, DPRD memiliki hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat—alat penting untuk menegakkan akuntabilitas publik. Bila hak-hak ini tidak dijalankan secara berani dan obyektif, maka DPRD hanya akan menjadi simbol demokrasi yang kehilangan daya gigit.
Kekuatan DPRD tidak semestinya diukur dari berapa banyak perda yang dihasilkan, melainkan dari seberapa efektif lembaga itu memastikan anggaran daerah benar-benar berpihak kepada rakyat, bukan kepada elite birokrasi atau kelompok bisnis tertentu.
Tugas pengawasan terhadap pelaksanaan APBD dan perda harus dijalankan dengan integritas, bukan sekadar rutinitas.
Idealnya, hubungan antara kepala dinas, gubernur, dan DPRD dibangun atas dasar kesetaraan fungsi, saling kontrol, dan transparansi. Kepala dinas menegakkan profesionalisme birokrasi; gubernur menjamin sinergi antara daerah dan pusat; DPRD memastikan akuntabilitas dan partisipasi publik. Bila ketiganya berjalan di relnya masing-masing, maka otonomi daerah akan menemukan makna sejatinya: pemerintahan yang berpihak kepada rakyat, bukan kepada kekuasaan.
Namun bila keseimbangan itu terus diabaikan, maka otonomi daerah hanya akan menjadi panggung baru bagi politik transaksional yang memiskinkan integritas birokrasi dan menyingkirkan kepentingan rakyat dari meja pengambilan keputusan.







