Porosmedia.com, Bandung – Kota Bandung kembali menjadi sorotan publik akibat krisis pengelolaan sampah yang kian parah. Tumpukan sampah yang menggunung di berbagai titik kota bukan sekadar masalah teknis, melainkan cerminan nyata dari lemahnya tata kelola pemerintahan daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan publik.
Ketua Umum Rumah Relawan Pendidikan Anak Bangsa Indonesia (RPABI), Rahmien Liomintono, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi tersebut. Ia menilai, situasi Bandung yang nyaris tenggelam dalam lautan sampah menandakan absennya langkah konkret dari Pemerintah Kota Bandung dalam mengelola persoalan lingkungan yang seharusnya menjadi prioritas utama.
“Persoalan sampah bukan hanya soal kebersihan, tetapi juga soal moral, manajemen, dan tanggung jawab publik. Pemerintah Kota Bandung, khususnya Wali Kota, seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan lingkungan yang bersih, sehat, dan layak huni bagi seluruh warga,” ujar Rahmien.
Menurutnya, ketika selama berbulan-bulan—bahkan bertahun-tahun—tidak terlihat adanya langkah nyata dan signifikan, maka evaluasi kinerja kepala daerah bukan lagi pilihan, tetapi keharusan.
“Wali Kota Bandung harus berani bertanggung jawab atas kondisi ini. Tidak cukup hanya dengan wacana dan janji, tetapi harus ada tindakan nyata, terukur, dan berdampak langsung bagi masyarakat,” tegasnya.
Rahmien juga menyoroti peran DPRD Kota Bandung yang dinilai harus lebih tegas dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja eksekutif. Ia mengingatkan bahwa lembaga legislatif tidak boleh diam atau sekadar menjadi penonton di tengah krisis yang semakin memprihatinkan.
Menurutnya, DPRD dapat dan harus segera menggunakan instrumen formal seperti Rapat Dengar Pendapat (RDP), interpelasi, hingga hearing publik, untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas dari Wali Kota serta jajaran dinas teknis terkait.
Langkah-langkah tersebut bukan semata bentuk kritik, melainkan bagian dari fungsi kontrol politik dan moral yang melekat pada lembaga perwakilan rakyat.
Lebih lanjut, RPABI menilai bahwa krisis sampah di Bandung tidak hanya berdampak pada aspek estetika dan lingkungan, tetapi juga mengancam sektor pendidikan dan kesehatan anak-anak.
Lingkungan yang kotor dan tidak sehat, kata Rahmien, dapat mengganggu tumbuh kembang generasi muda, menurunkan kualitas hidup masyarakat, dan bahkan berpotensi menimbulkan masalah sosial baru.
Karena itu, RPABI menyerukan agar semua elemen masyarakat—mulai dari lembaga pendidikan, komunitas relawan, organisasi sosial, hingga dunia usaha—turut berperan aktif dalam edukasi publik mengenai pentingnya pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
“Krisis ini adalah panggilan moral bagi semua pihak. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri, tetapi masyarakat juga tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian,” ujarnya.
Rahmien Liomintono menegaskan, RPABI siap menjadi mitra kritis sekaligus kolaboratif bagi Pemerintah Kota Bandung dalam mencari solusi jangka panjang yang lebih terukur dan berkeadilan.
Namun, ia juga menegaskan bahwa sikap kritis publik tidak boleh diabaikan oleh pemerintah daerah.
“Jika pemerintah terus abai dan tidak menunjukkan komitmen nyata, maka wajar jika muncul gelombang ketidakpercayaan publik terhadap kepemimpinan Wali Kota Bandung saat ini,” ungkap Rahmien.
Menurutnya, persoalan ini sudah melampaui batas administratif. Bandung, yang selama ini dikenal sebagai kota kreatif dan berbudaya, tidak boleh dibiarkan menjadi contoh buruk kota yang gagal mengelola sampahnya sendiri.
“Ini bukan hanya persoalan kebersihan, tetapi persoalan martabat dan tanggung jawab moral terhadap warga. Pemerintah harus mendengar, bertindak, dan berubah,” tutup Rahmien Liomintono.







