Konsep Batil Penanganan Pandemi Akan Selalu Berujung Pada Kegagalan

Konsep Batil Penanganan Pandemi Akan Selalu Berujung Pada Kegagalan

Porosmedia.com – Angka penyebaran Covid-19 varian Omicron di Indonesia kian meningkat belakangan ini. Pemerintah melaporkan penambahan 9.905 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir. Hingga Jum’at (28/01/2022), total kasus Covid-19 di Tanah Air berjumlah 4.319.175, dihitung sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020. Kasus aktif juga bertambah 7.870, sehingga total saat ini ada 43.574 kasus aktif Covid-19 di Indonesia.

Strategi pemerintah dalam menghadapi gelombang Omicron sedikit berbeda dengan menghadapi gelombang varian Delta. Varian Delta memiliki tingkat keparahan yang tinggi sehingga pemerintah harus mempersiapkan rumah sakit dengan banyak tempat tidur. Sedangkan varian Omicron, yang tinggi adalah penularannya, keparahannya rendah.

“Sebagian besar kasus Omicron adalah OTG, atau asimtomatik atau gejala sakitnya ringan. Jadi hanya gejala pilek, batuk, atau demam yang sebenarnya bisa sembuh tanpa perlu dibawa ke rumah sakit.” ucap Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin. Menurutnya, apabila tertular Omicron, tidak perlu panik. Segera lakukan isoman dan minum vitamin. Minum obat jika muncul gejala ringan.

“Yang perlu ke rumah sakit itu kalau ada lansia atau komorbid-nya banyak, itu ke rumah sakit. Dan cepat-cepatlah divaksin untuk memperkuat daya tahan tubuh dalam menghadapi varian baru.” tuturnya (Kompas.com Sabtu, 29/01/2022).

Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman menyebut ada dua faktor utama yang membuat Omicron kian merebak di Indonesia. Keduanya saling berkesinambungan, yakni lemahnya deteksi dan masih rendahnya tingkat capaian vaksinasi 2 dosis. Faktor lemahnya deteksi ini jugalah yang menurut Dicky membuat Indonesia kerap mengalami silent outbreak, yakni kondisi di mana banyak populasi muda yang tidak terdeteksi terinfeksi Covid-19 (Kompas.com Sabtu, 22/01/2022).

Baca Juga: Kasus Covid-19 Varian Omicron dan Delta Ditemukan di Cimahi

Konsep Batil Herd Immunity

Sepanjang bulan Januari di tahun baru 2022 ini drama Covid-19 belum juga berakhir, namun malah makin mengganas dengan bermunculannya berbagai varian baru, salah satunya Omicron. Varian Omicron diklaim memiliki tingkat keparahan rendah, namun penularannya tinggi sebab orang yang terinfeksi biasanya adalah OTG, alias orang tanpa gejala sehingga sulit untuk mendeteksinya.

Kasus pandemi Covid-19 yang seharusnya bisa ditangani sejak awal membutuhkan komitmen global serta kesadaran penuh dari pemerintah dunia untuk mengurus masyarakat. Namun tampaknya hingga saat ini, sistem kesehatan global di seluruh dunia masih amat rapuh. Menyebabkan seluruh masyarakat dunia hari ini masih tetap berada di bawah tekanan pandemi dan sistem kehidupan sekularisme.

Baca juga:  Herd Immunity Berbasis Vaksin, Hukum Rimba Bagi Masyarakat

Wujud nyata dari tanda-tanda Sistem Kapitalisme Sekuler yang paling jelas adalah pengabaian dari penguasa terhadap masyarakatnya. Bukan hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Konsep penanganan pandemi Covid-19 di seluruh dunia saat ini masih tetap berbasis herd immunity alias kekebalan kawanan. Meskipun disertai dengan vaksinasi sebagai penambah kekebalan tubuh, ketika dilakukan bersamaan dengan izin mobilitas manusia dari dan ke area yang terkontaminasi wabah, maka tentu virus tidak akan hilang begitu saja.

Lebih parah lagi, di Indonesia yang awalnya tidak tersentuh pandemi Covid-19, banyak manusia yang diberikan izin masuk dari wilayah wabah ke Indonesia. Seolah-olah nyawa manusia tidak lebih berharga dari kepentingan korporasi dan kenyamanan kaum elit oligarki. Inilah mengerikannya herd immunity. Ratusan juta jiwa penduduk dipertaruhkan keselamatannya dalam konsep batil ini. Sebagian besar dari mereka yang terdampak dan menjadi korban justru malah para tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan dalam penanggulangan virus Covid-19.

Sayangnya, Rencana Kerja Pemerintah 2022 masih mencantumkan konsep dasar herd immunity dalam penanggulangan pandemi. Padahal, risiko penularan akibat kebijakan abai pemerintah dan ketakpahaman masyarakat telah meningkatkan bahaya pandemi menjadi semakin besar. Masalah pun bertambah dengan terdampaknya sektor pendidikan dan ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Kasus pro kontra PTM 100 persen dan fenomena panic buying menjadi bukti betapa berbahayanya konsep batil herd immunity yang dijalankan saat ini.

Rapuhnya Sistem Kesehatan Kapitalisme

Sistem Kapitalisme Sekuler telah menjadikan kesehatan sebagai benda komersial yang mahal dan tak bisa dijangkau sembarang orang. Hadirnya asuransi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN); tenaga kesehatan (dokter dan seluruh staf kesehatan) yang dididik dengan sistem pendidikan sekularisme sebagai dasar pemikiran mereka; pengelolaan kesehatan yang tidak ada pengawasan dari pusat, namun cenderung desentralisasi; serta riset, teknologi dan industri farmasi yang bervisi bisnis dalam bingkai kerja kapitalisme triple helix A-B-G (muslimahnews.net Sabtu, 29/01/2022).

Perintah umum dari Menteri Kesehatan adalah beristirahat dan isoman bagi yang terdampak varian Omicron yang tidak disertai komorbid. Namun perintah tersebut tidak disertai dengan jaminan kebutuhan masyarakat selama isoman di rumah. Puskesmas pun tidak memberikan jaminan bahwa pasien terpapar Covid-19 akan benar-benar pulih serta tidak dirujuk ke rumah sakit. Ketika akhirnya perlu ada rujukan bagi pasien terdampak Omicron ke rumah sakit, maka kembali membutuhkan biaya yang luar biasa besar agar bisa menyembuhkan diri. Jelas bahwa kasus seperti ini adalah bentuk komersialisasi kesehatan. Karena rakyat miskin tak akan mampu membeli pelayanan kesehatan. Padahal, jumlah masyarakat miskin itu tak hanya satu atau dua orang.

Baca juga:  Fatique & Microsleep, sangat Berbahaya saat Mengemudi 

Pemerintah mengklaim telah memberikan akses gratis kesehatan bagi masyarakat miskin. Namun faktanya akses tersebut amat sulit dan berbelit. Pemerintah memasang standar masyarakat miskin sebagai keluarga yang memiliki penghasilan di bawah dua puluh ribu rupiah per harinya; atau memiliki rumah berdinding kayu atau berlantai bambu; atau tidak memiliki fasilitas MCK yang baik. Padahal hari ini tidak jarang masyarakat miskin yang mengontrak rumah di kota besar, terlilit hutang riba yang tak tampak di luaran. Konteks masyarakat miskin ini pun dinilai menggunakan standar bisnis untung rugi, sehingga semakin mempersulit masyarakat untuk memperolehnya.

Sementara itu, konsep kesehatan yang melalui JKN mewajibkan masyarakat membayar premi setiap bulan yang nilainya terus bertambah. Pelayanan BPJS kesehatan yang dibedakan sesuai kelasnya pun menunjukkan sikap bisnis perhitungan untung rugi yang nyata dengan mengabaikan sisi kemanusiaan. Ditambah lagi ketika ada kebutuhan masyarakat yang mendesak dan membutuhkan teknologi kesehatan seperti tes RT-PCR, pemerintah mewajibkan harga yang amat mahal. Masyarakat harus mengeluarkan jutaan rupiah untuk mendapatkan layanan teknologi kesehatan.

Dampak buruk komersialisasi kesehatan ini juga mempengaruhi kualitas layanan kesehatan. Seperti rendahnya tingkat capaian vaksinasi dua dosis dan lemahnya kemampuan deteksi Covid-19 yang menyebabkan silent outbreak. Kekurangan fasilitas kesehatan pun tak teratasi, terutama di daerah terpencil yang tidak memiliki sarana dan prasarana kesehatan. Ketergantungan pemerintah terhadap impor, termasuk dalam kebutuhan obat-obatan dan faskes lainnya semakin memperburuk kualitas layanan kesehatan di masa pandemi.

Lagi-lagi, kondisi yang sudah separah ini masih belum bisa menyadarkan pemerintah akan kegagalan sistem Kapitalisme Sekuler. Malah diperparah dengan pengabaian total terhadap kesehatan publik demi pemenuhan kebutuhan para oligarkis. Alih-alih menggunakan dana PEN demi perbaikan kualitas layanan kesehatan, malah diancang-ancang untuk persiapan kepindahan Ibu Kota Negara Baru. Astaghfirullahaladzim. Sungguh suatu kegagalan yang nyata dalam pengurusan umat.

Baca juga:  Pantas Inggit Garnasih di Catatan Hari Pahlawan 2024 : Mengenang Pejuang Tulus dan Tangguh yang Terlupakan

Islam Menjamin Kualitas Kesehatan

Kunci bagi penyelesaian seluruh permasalahan masyarakat hari ini adalah tegaknya syariat Islam. Termasuk untuk mengakhiri pandemi Covid-19 dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Penegakan syariat Islam dalam sistem Islam bukanlah suatu utopia, melainkan sebuah keniscayaan. Sebab dengan tegaknya syariat Islam menjadi seluruh aturan dalam kehidupan manusia, maka akan menurunkan rahmatan lil alamin yakni ridha Allah Taala kepada seluruh alam.

Negara Islam akan memastikan kebutuhan seluruh masyarakat terpenuhi dengan memastikan kehidupan normal berlangsung baik dan teratur di luar area wabah. Lalu memutus rantai penularan virus secara efektif dengan lockdown syar’i. Konsep kesehatan Islam yang sempurna ajaran Rasulullah shalallahu alaihi wasallam akan mampu menghapuskan wabah tanpa menzalimi masyarakat sedikit pun.

Negara Islam juga akan menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat terutama di daerah-daerah penyebaran wabah yang berzona hitam atau merah. Masyarakat tidak akan perlu khawatir akan kelaparan, sebab negara sungguh-sungguh berperan sebagai raain atau pengurus rakyat. Dengan demikian, penguasa pun akan menjamin kebutuhan masyarakat akan kesehatan. Masyarakat tak perlu khawatir lagi akan biaya yang tinggi untuk persoalan di bidang kesehatan dan pendidikan. Syariat telah menjamin kesehatan dan pendidikan masyarakat sebagai kewajiban seorang penguasa dalam Islam.

Penguasa negara Islam berperan secara langsung dalam pengurusan kesehatan dan seluruh kebutuhan masyarakat. Pelaksanaan penanganan pandemi wajib dikontrol oleh penguasa secara langsung, juga menjamin ketersediaan seluruh fasilitas kesehatan yang memadai ke seluruh pelosok negeri. Semua ini akan mampu dilaksanakan karena negara Islam adalah negara yang berbasis aqidah dan syariat Islam yang mewajibkan manusia untuk tunduk pada ketentuan Allah Taala. Sehingga tidak akan ada alasan bisnis atau komersialisasi dalam pengurusan masyarakat secara utuh. Wallahu’alamm bisshawwab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *