Porosmedia.com – Kasus dugaan jual beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung kini memasuki fase krusial. Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bandung telah memeriksa sejumlah pejabat, mulai dari Wakil Wali Kota, delapan kepala dinas, hingga beberapa pejabat eselon menengah. Namun di balik aktivitas hukum yang tampak “intens dan sistematis” itu, publik justru dihadapkan pada dinding ketertutupan informasi yang tebal.
Dalih yang sering digunakan—“penyidikan harus dilakukan secara cermat agar tidak keliru menetapkan tersangka”—memang terdengar prosedural dan sahih secara hukum. Akan tetapi, dalam konteks perkara korupsi yang berdampak langsung pada kepercayaan publik, kecermatan tanpa transparansi dapat berubah menjadi alat pembungkam akuntabilitas.
Penyelidikan Kejari Bandung telah melibatkan banyak saksi dan penyitaan barang bukti berupa ponsel serta dokumen proyek. Semua langkah ini menunjukkan keseriusan institusi penegak hukum. Namun, publik tidak hanya menilai dari proses internal, melainkan juga dari bagaimana proses itu dikomunikasikan.
Minimnya penjelasan resmi terkait konstruksi hukum, tahapan pemeriksaan, maupun rencana tindak lanjut, menimbulkan persepsi adanya “pengendalian narasi” atau bahkan ruang kompromi di balik layar. Dalam hukum pidana, memang benar tidak semua detail dapat dibuka. Tetapi prinsip transparency with limitation justru menjadi elemen penting dalam membangun kepercayaan publik.
Kejaksaan, sebagai lembaga penegak hukum, seharusnya menyadari bahwa dalam kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik, diam yang terlalu lama sama buruknya dengan bising yang menyesatkan.
Publik dapat memahami kehati-hatian jaksa dalam menyusun berkas perkara (P-21) agar tidak kandas di pengadilan. Namun, komunikasi publik yang serba umum dan minim arah, tanpa penjelasan progres yang konkret, membuat masyarakat sulit menilai keseriusan penanganan kasus ini.
Bukan rahasia bahwa di banyak daerah, perkara korupsi “mandek” bukan karena kurang bukti, tetapi karena kurang keberanian untuk membuka kebenaran. Oleh sebab itu, Kejaksaan Agung RI perlu memastikan agar setiap langkah penegakan hukum di daerah berjalan dalam koridor akuntabilitas publik yang jelas dan dapat diuji.
Jaksa Agung Republik Indonesia, ST Burhanuddin, memiliki tanggung jawab moral dan institusional untuk menegaskan kembali bahwa kejaksaan bukan hanya mesin hukum, tetapi juga benteng kepercayaan publik.
Beberapa langkah penting yang layak ditempuh antara lain:
1. Meningkatkan Pengawasan Khusus: Jika penanganan kasus di daerah terkesan lamban atau tidak konsisten, Kejaksaan Agung dapat melakukan supervisi langsung atau mengambil alih perkara sesuai mekanisme pengawasan internal.
2. Menegakkan Kewajiban Transparansi Progres: Setiap penyidikan besar yang menyangkut pejabat publik seharusnya memiliki rangkaian laporan berkala kepada publik, minimal dalam bentuk press briefing resmi dengan substansi yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Menjaga Independensi dari Tekanan Politik: Penegakan hukum tidak boleh tunduk pada relasi kekuasaan daerah. Keadilan tidak bisa dinegosiasikan dengan kenyamanan politik.
Di tengah minimnya keterbukaan institusi hukum, kontrol sosial menjadi energi utama demokrasi.
Masyarakat sipil, aktivis, akademisi, dan media memiliki peran untuk memastikan agar kasus ini tidak tenggelam oleh waktu.
1. Dorongan Keterbukaan Data: Publik berhak menuntut kejelasan melalui mekanisme resmi seperti petisi atau audiensi publik.
2. Investigasi Paralel oleh Media: Jurnalis perlu melanjutkan investigasi independen, menelusuri pola, motif, dan potensi konflik kepentingan di balik penempatan jabatan ASN.
3. Tekanan Berkelanjutan: Berita lanjutan, opini, dan diskusi publik harus terus dihidupkan agar kasus ini tidak berujung pada sunyi administratif.
Jual beli jabatan bukan sekadar soal uang, tetapi tentang hancurnya sistem meritokrasi yang menjadi fondasi birokrasi. Ketika jabatan diperoleh lewat amplop, bukan kompetensi, maka setiap kebijakan publik yang lahir darinya sudah cacat sejak awal.
Bandung, kota dengan sejarah panjang sebagai barometer intelektualitas dan moralitas publik, tidak boleh membiarkan penyakit birokrasi ini berkembang. Kejaksaan harus membuktikan bahwa mereka bekerja bukan hanya untuk menegakkan hukum, tetapi juga memulihkan kepercayaan publik terhadap keadilan.
Transparansi bukan ancaman bagi proses hukum—ia justru adalah syarat keabsahan moral bagi setiap institusi penegak hukum.
Kejaksaan Negeri Bandung harus menjawab bukan hanya di ruang sidang, tetapi juga di hadapan publik yang menanti: apakah “kecermatan” benar-benar untuk menegakkan kebenaran, atau sekadar cara halus untuk menunda keadilan?
Sudrajat|Porosmedia
Porosmedia.com
Suara Independen, Tajam, dan Berani untuk Keadilan Publik.







