Porosmedia.com, Bandung — Gelombang penolakan muncul dari sejumlah pedagang di Pasar Ciroyom, Kota Bandung. Mereka memprotes kebijakan yang dinilai tidak adil dari Perumda Pasar Ciroyom Juara, terkait pelaksanaan Surat Edaran Nomor 511.2/877–PERUMDA.PJ/2025 tentang kerja sama pedagang lantai dasar yang telah melakukan verifikasi Surat Pemakaian Tempat Berjualan (SPTB), penandatanganan MoU, dan pembayaran uang muka Hak Pemakaian Sewa Tempat Usaha.
Berdasarkan surat tersebut, pedagang diwajibkan menyelesaikan seluruh proses administrasi hingga 15 November 2025. Bagi yang tidak memenuhi batas waktu, mereka akan dianggap sebagai pedagang baru, dengan konsekuensi administratif dan finansial yang berbeda.
Namun, kebijakan ini justru memantik keresahan. Sejumlah pedagang menganggap aturan tersebut memberatkan dan tidak mempertimbangkan kondisi faktual di lapangan, terutama terkait fasilitas pasar yang dinilai belum layak.
Fasilitas Minim, Beban Berat
Kondisi Pasar Ciroyom disebut masih jauh dari ideal. Sampah yang belum tertangani dengan baik, kebersihan lingkungan yang buruk, hingga keterbatasan fasilitas umum seperti toilet dan drainase, menjadi keluhan utama pedagang.
“Wajar jika pedagang merasa keberatan diminta melunasi hak sewa tempat usaha sementara fasilitas dasar belum terpenuhi. Mereka merasa diperlakukan tidak adil,” kata R. Wempy Syamkarya, SH., MM., pengamat kebijakan publik dan politik.
Menurutnya, kebijakan publik yang menyangkut kepentingan ekonomi rakyat kecil seharusnya berlandaskan prinsip keadilan, transparansi, dan timbal balik. “Kewajiban harus diiringi dengan pemenuhan hak. Jika pedagang dituntut membayar penuh, maka Perumda wajib memastikan pelayanan dan fasilitas pasar sudah layak,” ujarnya.
Sudut Pandang Perumda
Di sisi lain, pihak Perumda Pasar Ciroyom Juara diduga memiliki pertimbangan administratif dan kebijakan tersendiri. Penataan ulang sistem sewa dan legalitas tempat usaha diklaim sebagai bagian dari upaya reformasi pengelolaan aset daerah.
Namun, Wempy menilai pendekatan semacam itu tetap harus mengedepankan komunikasi yang sehat dan partisipatif. “Kebijakan yang baik bukan hanya sah secara hukum, tapi juga diterima secara sosial. Kalau pendekatannya sepihak, hasilnya pasti konflik,” katanya menegaskan.
Kebutuhan Dialog dan Mediasi
Sebagai solusi, Wempy mengusulkan agar Direktur Utama Perumda Pasar Juara segera melakukan dialog terbuka dengan para pedagang untuk membangun kepercayaan bersama.
“Dialog langsung menjadi kunci penyelesaian. Dirut harus hadir, mendengarkan aspirasi, menjelaskan arah kebijakan, dan membuka ruang kompromi. Pedagang bukan objek, mereka mitra strategis dalam ekosistem ekonomi rakyat,” ujarnya.
Selain itu, Wempy menyarankan pembentukan Tim Mediasi Independen yang melibatkan unsur pedagang, Perumda, dan Pemerintah Daerah, serta menghadirkan mediator netral agar solusi yang dihasilkan bersifat adil dan mengikat kedua pihak.
Lima Rekomendasi Solusi
1. Peninjauan Ulang Kebijakan: Perumda perlu mengevaluasi isi dan tenggat Surat Edaran, menyesuaikan dengan situasi riil dan kemampuan ekonomi pedagang.
2. Percepatan Perbaikan Fasilitas: Segera benahi infrastruktur pasar seperti sanitasi, area sampah, dan penerangan sebagai bentuk komitmen pelayanan publik.
3. Komunikasi Terbuka: Adakan forum berkala antara manajemen pasar dan paguyuban pedagang agar setiap kebijakan dibahas secara terbuka.
4. Pemberian Insentif: Pertimbangkan diskon atau keringanan pembayaran bagi pedagang yang taat administrasi dan aktif menjaga kebersihan serta keamanan pasar.
5. Pembentukan Tim Mediasi: Libatkan unsur pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil untuk menengahi perbedaan kebijakan dan mencari solusi kolektif.
Demo Adalah Jalan Terakhir
Wempy menegaskan, aksi demonstrasi merupakan hak warga negara yang dijamin undang-undang. Namun, ia mengingatkan agar langkah tersebut ditempuh secara damai dan konstitusional.
“Sebelum turun ke jalan, pedagang sebaiknya menyampaikan tuntutan secara tertulis dan resmi, meminta pertemuan dengan Dirut, serta memberi ruang bagi Perumda untuk menanggapi. Jika dialog gagal dan kebijakan tetap dianggap diskriminatif, barulah aksi protes bisa menjadi opsi terakhir,” tegasnya.
Menurut Wempy, konflik di pasar tradisional seperti Ciroyom bukan sekadar soal uang sewa, tapi juga cermin dari lemahnya komunikasi publik di tingkat kebijakan daerah.
“Ketika rakyat kecil harus berteriak lewat demo, itu tanda bahwa ruang dialog sebelumnya tidak berfungsi. Ini yang harus dibenahi,” pungkasnya.
R. Wempy Syamkarya, SH., MM.
Pengamat Kebijakan Publik dan Politik







